Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior Indef Faisal Basri memaparkan analisis soal publikasi tahunan World Economic Forum (WEF) tentang indeks daya saing global.
Dalam publikasi tersebut Indonesia mengalami penurunan 5 peringkat. Bagaimana daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di Asean? berikut analisis Faisal Basri yang dikutip dari faisalbasri.com Kamis (10/10/2019):
World Economic Forum (WEF) baru saja merilis publikasi tahunannya berjudul “The Global Competitiveness Report 2019” yang berisi senarai indeks daya saing global (Global Competitiveness Index/GCI) 141 negara.
Peringkat pertama diraih oleh Singapura yang menggantikan posisi Amerika Serikat. Negeri Paman Sam turun ke peringkat kedua akibat perang dagang AS dengan China yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Dari kemungkinan skor tertinggi 100, Singapura memperoleh skor 84,8 pada 2019, naik dari 83,5 pada tahun 2018. Sebaliknya, skor Amerika Serikat turun dari 85,6 menjadi 83,7.
Baca Juga
Kabar kurang menggembirakan bagi Indonesia yang turun lima peringkat dari ke-45 tahun 2018 menjadi ke-50 tahun 2019. Penurunan peringkat yang cukup tajam ini disertai dengan penurunan skor, dari 64,9 menjadi 64,6. Berarti penurunan peringkat Indonesia bukan hanya karena negara-negara lain mengalami kenaikan skor melainkan juga karena skor daya saing Indonesia memburuk.
Peraga di atas hanya menampilkan ASEAN-6 dan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan). Di antara ASEAN-6, hanya Indonesia dan Filipina yang mengalami penurunan skor, sementara itu India adalah satu-satunya negara BRICS yang mengalami penurunan skor, mengakibatkan posisi India merosot 10 peringkat.
Malaysia dan Thailand sama-sama mengalami penurunan dua peringkat, namun skor kedua negara mengalami kenaikan. Berarti ada negara-negara yang sebelumnya di bawah mereka menikmati perbaikan skor daya saing yang lebih cepat. Dengan kata lain, peningkatan skor tidak otomatis meningkatkan peringkat. Laju kecepatan perbaikan juga turut menentukan kenaikan peringkat.
GCI merupakan indikator komposit dari 103 indikator yang dikelompokkan dalam 12 pilar. Skor terburuk Indonesia dialami oleh pilar ke-12 (innovation capability) yang hanya 37,7 dari skor tertinggi 100. Terburuk kedua adalah pilar ke-3 (ICT adoption), lalu pilar ke-8 (labor market), pilar pertama (institutions), dan pilar ke-7 (product market).
Pada pilar pertama, ada komponen atau indikator “transparency” yang hanya memiliki nilai sangat rendah, yaitu 38,0.
Pilar dengan skor tertinggi adalah “macroeconomic stability” (pilar ke-4). Sayangnya skor yang sangat tinggi (90) untuk stabilitas makroekonomi–yang merupakan prasyarat penting pertumbuhan ekonomi berkelanjutan–belum dapat dijadikan modal untuk mengerek daya saing, sehingga di ASEAN-6 Indonesia hanya lebih baik ketimbang Filipina dan Vietnam.
Perbaikan di Indonesia perlu diakselerasikan agar tidak disusul oleh Vietnam yang belakangan ini menunjukkan perbaikan pesat di berbagai bidang.