Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah didesak untuk segera mengintervensi harga gula jelang puncak masa giling yang tiba pada Juni mendatang. Intervensi dilakukan untuk melindungi harga gula di petani.
Pasokan gula impor ke pasar yang belum maksimal dikhawatirkan akan menekan harga tebu saat panen nanti. Padahal, petani mengharapkan harga yang layak pada masa panen ini.
Harga rata-rata gula nasional sendiri mulai turun seiring dengan bertambahnya pasokan gula dari impor. Harga gula berdasarkan pantauan Kementerian Perdagangan disebut telah turun 16 persen menjadi Rp16.700 per kilogram per 23 Mei dibandingkan pada April lalu.
Sementara berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga rata-rata gula secara nasional turun dari Rp18.250 per kg menjadi Rp17.400 per kg dalam sebulan terakhir.
"Gula impor dan realokasi seharusnya sudah disalurkan dan diserap pasar sebelum musim giling agar harga petani tidak anjlok karena pasokan yang melimpah. Seharusnya petani bisa menikmati harga yang bagus," ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) M. Nur Khabsyin kepada Bisnis, Senin (25/5/2020).
Namun harga gula di petani disebut Nur Khabsyin belumlah optimal meski masa giling belum mencapai puncaknya. Di sejumlah pabrik yang telah melakukan penggilingan, dia mengatakan harga gula tebu berkisar Rp12.000–Rp12.500 per kg.
Baca Juga
Di sisi lain, harga gula eceran di tingkat konsumen pun disebutnya telah menyentuh Rp13.000 per kg di Pulau Jawa.
Dengan mempertimbangkan sejumlah komponen biaya produksi untuk masa giling pada 2020, APTRI memperkirakan biaya pokok produksi gula tebu sendiri dapat mencapai Rp12.772 per kg. Dengan asumsi keuntungan untuk petani sebanyak 10 persen, maka harga jual di petani diharapkan Rp14.049 per kg.
Demi mencegah tekanan harga yang lebih dalam seiring potensi masih disalurkannya gula impor ke pasar, Nur Khabsyin pun berharap pemerintah dapat segera menerbitkan aturan harga baru sebagai upaya perlindungan bagi petani.
Pemerintah pun disebutnya bisa menugasi perusahaan-perusahaan yang mendapat izin impor serta para distributor untuk membeli gula dengan harga yang layak.
"Kami minta mereka bertanggung jawab membeli harga gula petani yang di atas biaya produksi. Selama harga gula naik beberapa bulan terakhir tak lepas dari pelaku yang memainkan harga, padahal gula impor jauh lebih murah," lanjutnya.
Kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa kenaikan harga gula di Indonesia justru kontras dengan harga gula global. Harga gula di dalam negeri tercatat 247 persen lebih mahal dibanding harga gula luar negeri per minggu kedua Mei.
Selama kurun waktu satu tahun terakhir, harga gula dunia cenderung stabil dan bahkan turun pada periode Februari sampai April 2020. Sementara di dalam negeri, harga gula justru merangkak naik sejak awal tahun dan mencapai puncaknya pada April dengan harga yang mencapai 47 persen di atas acuan.
Di sisi lain, KPPU pun menyoroti margin gula yang besar dari tingkat produsen ke konsumen. Dalam kondisi produksi yang paling efisien, biaya produksi gula tebu di dalam negeri tergolong rendah di kisaran Rp6.000–Rp9.000 per kg. Biaya produksi yang efisien pun dinikmati oleh pabrik gula berbasis bahan baku impor.
"Keuntungan tersebut makin signifikan dengan harga pasar yang tinggi saat ini. Sebagai ilustrasi, dengan kemampuan biaya produksi pabrik paling efisien yang berkisar di Rp6.000 per kilogram, dibandingkan dengan harga pasar saat ini yang mencapai Rp17.500 per kilogram, keuntungannya dapat mencapai 190 persen," kata Komisioner KPPU Guntur Saragih pekan lalu