Bisnis.com, JAKARTA - Goldman Sachs memperkirakan India akan mengalami resesi terdalamnya setelah serangkaian data yang buruk menggarisbawahi dampak ekonomi yang merusak dari lockdown di negara berpenduduk terpadat kedua di dunia tersebut.
Dilansir Bloomberg, Goldman Sachs memperkirakan produk domestik bruto India mengalami kontraksi sebesar 45 persen pada kuartal II/2020 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 20 persen.
Setelahnya, Goldman Sachs memperkirakan rebound kuat sebesar 20 persen pada kuartal III/2020, sedangkan proyeksi untuk kuartal keempat tahun ini dan pertama tahun depan tidak berubah pada 14 persen dan 6,5 persen.
Ekonom Goldman Sachs Prachi Mishra dan Andrew Tilton menulis dalam catatan tertanggal 17 Mei bahwa proyeksi tersebut menyiratkan bahwa PDB riil akan turun 5 persen pada tahun fiskal 2021, yang akan lebih dalam dari resesi lain yang pernah dialami India.
Pemerintah India telah memperpanjang lockdown nasional hingga 31 Mei, sementara semakin melonggarkan pembatasan di sektor-sektor tertentu untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, karena kasus-kasus virus corona meningkat di seluruh negeri.
Pengumuman ini mengikuti pengarahan kelima Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman dalam beberapa hari terakhir setelah ia menguraikan rincian paket stimulus negara senilai US$ 65 miliar, yang setara dengan 10 persen dari PDB India.
Baca Juga
"Ada serangkaian pengumuman reformasi struktural di beberapa sektor selama beberapa hari terakhir," tulis ekonom Goldman, seperti dikutip Bloomberg.
“Reformasi ini lebih bersifat jangka menengah, dan oleh karena itu kami tidak berharap ini memiliki dampak langsung untuk menghidupkan kembali pertumbuhan. Kami akan terus memantau implementasinya untuk mengukur pengaruhnya terhadap prospek jangka menengah,” lanjut mereka
Infeksi virus corona terus melonjak di negara Asia Selatan ini, dengan lebih dari 91.300 kasus yang telah dikonfirmasi hingga Minggu (17/5). Sementara iut, angka kematian menembus 2.897 jiwa, menurut data dari Johns Hopkins University.