Bisnis.com, JAKARTA - Meningkatnya konsumsi energi seiring menipisnya cadangan energi fosil mendorong berbagai ilmuan untuk memecahkan solusi dalam mencapai pemenuhan kebutuhan energi.
Direktur Utama PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan mineral perovskite dinilai mampu menjawab masalah krisis energi terutama bagi negara-negara tropis, seperti Indonesia. Menurutnya, mineral perovskite mampu dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pemanfaatan pembangkit berbasis tenaga surya. Perovskite memiliki tingkat efisiensi penyerapan matahari maupun fleksibilitas biaya dibandingkan panel photo voltaic (PV) yang berbasis kristal silikon.
"Ada kelemahan utama dari Silicon PV panel, yaitu sangat tidak efisien, pencapaian efisiensinya hanya sekitar 7-16 persen saja, dan tergantung kepada orientasi penempatan serta kondisi cuaca. Panel Silikon dibuat relatif tebal dan berlapis, tidak seperti film yang tipis, sehingga bisa lebih kuat dan tahan lama, namun disisi lain harus mengorbankan efisiensinya," ujarnya seperti yang dikutip dalam laman Kementerian ESDM, Rabu (13/5/2020).
Penemuan perovskite, lanjutnya, dapat menjanjikan hasil yang lebih baik sehingga bisa menjadi andalan yang dapat mengalahkan atap panel dari sisi efisiensi.
"Panel-panel dengan lapisan-lapisan film tipis Perovskite dapat menyerap cahaya dari panjang gelombang yang kisarannya sangat lebar dan lebih produktif menghasilkan listrik dibanding silikon PV panel," katanya.
Riset terbaru yang dilakukan oleh Universitas Oxford di tahun 2018 menunjukkan, tingkat efisiensi pemanfaatan perovskite hingga menyentuh angka 25% bahkan pada bulan Desember 2018 bisa mencapai 28 persen. Hingga saat ini, para saintis terus mengembangkan riset tersebut untuk dikomersilkan secara masal sejak diteliti pada tahun 2012.
Baca Juga
Pemanfaatan matahari di Indonesia sebagai sumber energi dinilai Nanang sebagai langkah yang tepat. Hal ini mempertimbangkan sifat matahari sebagai sumber energi yang tidak terbatas. "Setiap jam, matahari memberikan energi sebesar 430 quintillion (10 pangkat 18) Joules dan lebih dari 410 quintillion (10 pangkat 18) Joules telah dikonsumsi sepanjang tahun," terangnya.
Menurut International Energy Agency (IEA), tenaga surya telah menyuplai sekitar 592 Giga Watt atau hanya sekitar 2,2 persen saja dari pemakaian tenaga listrik dunia sebesar 26,571 Giga Watt di tahun 2018. Setelah maraknya pemasangan Photovoltaic (PV), maka pemakaian tenaga surya meningkat menjadi 100 Giga Watt atau 20 persen dari pemakaian listrik dunia. Lebih dari 90 persen pemasangan panel photovoltaic (PV) dibuat dari Kristal silicon.
Hal ini sejalan dengan semakin kompetitifnya rata-rata harga listrik pembangkit tenaga surya. Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), pembangkit tenaga surya sudah sangat kompetitif dibandingkan pembangkit dari energi fosil, seperti dari minyak, gas dan batubara, dengan rata-rata harga listrik turun sekitar 75 persen atau dibawah US$10 sen/KWh.
"Tentunya hal ini merupakan babak baru kehidupan manusia, mulai meninggalkan sumber energy fosil yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Selamat datang Perovskite," ucap Nanang.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM.
Agung Pribadi menjelaskan, potensi pengembangan energi surya di Indonesia sangat besar, tercatat Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 207,8 Giga Watt Peak (GWp) dengan realisasi mencapai 0,15 GWp.
Pada tahun 2020 tambahan kapasitas pembangkit EBT ditargetkan sebesar 933 MW dengan PLTS sebesar 78 MW. Oleh karena itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemanfaatan energi surya secara optimal dengan melibatkan seluruh stakeholder.
"Penggunaan energi surya sebagai green energy menggunakan clean technology harus menjadi pilihan dan prioritas bagi kita untuk mendukung sustainability," tuturnya
Sebagai informasi, perovkite masuk sebagai rare earth elements (REE), yang senyawa kimianya disebut Kalsium Titanium Oksida atau dengan rumus kimia CaTiO3. Pertama kali ditemukan ditemukan di sekitar Pegunungan Urals, Rusia, oleh Gustav Rose pada tahun 1839, yang kemudian dilakukan penelitian lanjut oleh Victor Goldschmidt pada tahun 1926.