Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kesulitan Pendanaan PLTU Batu Bara Diyakini Dorong Investasi EBT

Sedikitnya perbankan luar negeri yang membiayai proyek PLTU)disebut akan meningkatkan investasi pembangkit EBT.
Wisatawan menaiki perahu yang akan membawa ke lokasi snorkling/diving di Pantai Binor dekat Kompleks PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur./Antara/Widodo S. Jusuf
Wisatawan menaiki perahu yang akan membawa ke lokasi snorkling/diving di Pantai Binor dekat Kompleks PLTU Paiton di Probolinggo, Jawa Timur./Antara/Widodo S. Jusuf

Bisnis.com, JAKARTA – Sedikitnya perbankan luar negeri yang membiayai proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) disebut akan meningkatkan investasi pembangkit energi baru terbarukan (EBT).

Sejumlah perbankan dan lembaga pembiayaan tersebut yakni Mizuho, Japan’s Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMFG), dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menyetop penyaluran kredit atau tak lagi membiayai pembangunan PLTU batu bara yang baru.

Mizuho sendiri memangkas saldo kredit untuk sektor pembangkit listrik bertenaga batu bara sebesar 300 miliar yen atau setara US$2,8 miliar untuk proyek pembangkit listrik tenaga batu bara pada 2030 dan akan berhenti membiayai secara total pada 2050.

Lalu Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMFG) Jepang juga tak akan lagi memberikan pinjaman kepada PLTU batu bara baru mulai 1 Mei lalu.

JBIC tidak akan lagi memberikan pendanaan terhadap proyek PLTU batu bara dan mendorong pembangkit listrik tenaga energi terbarukan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan SMFG menghentikan pendanaan untuk proyek PLTU batu bara dan tambang batu bara mulai 1 Mei 2020, sedangkan Mizuho akan memangkas separo pendanaan untuk proyek batu bara sampai dengan 2030 dan menjadi nol pada 2050.

Satu lagi lembaga pendanaan Jepang yang memutuskan menghentikan pendanaan proyek PLTU batu bara adalah Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) yang disampaikan akhir 2019 lalu.

Selama ini proyek-proyek PLTU yang didanai Jepang melibatkan tiga pihak yakni diantaranya penyediaan alat manufaktur, kontraktor engineering, procurement, and construction (EPC), dan lembaga pembiayaan seperti bank dan asuransi.

Menurutnya, dengan mundurnya lembaga pembiayaan dari Japang, akan membuat opsi pendanaan PLTU batu bara menjadi terbatas dan tentunya menjadi lebih mahal.

"Selama ini manufaktur atau pabrikan dan EPC Jepang bisa menjual teknologi karena mendapatkan dukungan pendanaan yang kompetitif dari lembaga keuangan dan Pemerintah Jepang lewat skema kredit ekspor, serta dukungan lembaga asuransi," ucapnya.

Fabby menilai dengan mundurnya lembaga-lembaga pembiayaan dan asuransi asal Jepang yang biasa mendanai proyek PLTU atau tambang batu bara maka proyek-proyek sudah yang direncanakan operator atau EPC asal Jepang akan lebih sukar mendapatkan pendanaan.

"Kalaupun pendanaan mungkin masih bisa didapat dengan mengandalkan kredit ekspor atau pembiayaan dari equity investor, cost of fund menjadi lebih mahal dan dapat memengaruhi keekonomian proyek PLTU," ujarnya.

Pemerintah dan PLN tentu melihat tren ini pembiayaan proyek PLTU batu bara. Untuk Indonesia, hanya ada tiga negara yang membiayai proyek-proyek PLTU yakni Jepang, Korea Selatan, dan China.

Lembaga pembiayaan Jepang, baik bank dan JBIC tak lagi membiayai proyek PLTU. Bahkan, institusi pembiayaan swasta beberapa sudah memutuskan tidak lagi mendanai proyek PLTU.

Demikian juga dengan Korea Selatan di mana perusahaan listrik di sana juga mendapatkan tekanan dari investor untuk tak lagi mendukung proyek PLTU batu bara.

"Yang tersisa selanjutnya hanya China, yang saya kira dalam beberapa tahun mendatang juga akan berkurang dukungan pembiyaannya untuk PLTU," ujarnya.

Dia mengusulkan solusinya yakni pemerintah dan PLN harus mengalihkan dari PLTU ke pembangkit energi terbarukan. Selama ini financing cost PLTU lebih murah dari pada pembangkit energi terbarukan dan mekanisme pembiayaan lebih beragam.

"Sekarang ini sumber pendaaan mengering dan akan lebih mahal kalau harus mencari dari pasar uang atau equity investor sehingga proyek-proyek tsb tdk lagi feasible. Sementara itu sumber pembiayaan untuk energi terbarukan lebih banyak dan bisa lebih murah," kata Fabby.

Oleh karena itu, pemerintah dan PLN perlu menyiapkan pipeline proyek energi terbarukan yang lebih banyak dan didukung dengan regulasi yang stabil sehingga bisa menurunkan risiko investasi.

Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan trend tersebut seharusnya pemerintah dan PLN perlu lebih agresif mengembangkan proyek pembangkit energi terbarukan skala besar.

"Apalagi dengan kondisi pasokan listrik dari pembangkit thermal sudah berlebih dalam 5 tahun mendatang, seharusnya sudah mulai ada pembatasan atau moratorium membangun PLTU, diganti dengan pembangkit energi terbarukan yang bisa lebih murah dari PLTG atau bahkan PLTU kalau struktur pendanaannya kompetitif," paparnya.

Fabby menilai setelah 2020, seharusnya mayoritas tambahan pembangkit baru itu berasal dari EBT dan modernisasi jaringan listrik sehingga dapat menampung pembangkit intermittent dan pembangkit terdistribusi yang lebih banyak.

Sementara itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE (Energi Baruy Terbarukan dan Konservasi Energi) Kementerian ESDM Harris berpendapat tren pembiayaan untuk pembangkit listrik berbasis batu bara akan terjadi penurunan seiring dengan kesadaran akan lingkungan dan energi yang bersih serta pengendalian emisi gas rumah kaca.

Hal ini tentu akan meningkatkan investasi untuk pembangkit yang ramah lingkungan atau EBT seperti pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), dan pembangkit listrik tenaga laut ataupun hidrogen.

Kementerian ESDM terus memperbaiki iklim investasi EBT melalui penyiapan regulasi yang lebih baik, peningkatan kapasitas sumber daya manusia sampai sosialisasi EBT secara intensif kepada masyarakat

"Langkah ini memerlukan biaya yang jauh lebih ringan ketimbang pembangunan pembangkit, tetapi dampaknya terhadap penurunan emisi relatif sama," tutur Haris.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper