Bisnis.com, JAKARTA - Disahkannya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi undang-undang disebut dapat menjawab kebutuhan sektor pertambangan Indonesia.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan Mineral dan Batubara (Minerba) sebagai kekayaan alam yang terkandung dalam bumi merupakan kekayaan yang sifatnya tidak terbarukan namun manfaatnya menyangkut hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu pengelolaan Minerba harus dikuasai oleh negara, agar pengelolaannya dapat dilakukan secara optimal, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memberi manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut, telah ada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang telah menjadi dasar hukum sekaligus pedoman bagi penyelenggaraan dan pengelolaan pertambangan minerba secara nasional saat ini.
Namun dalam perjalanannya, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih belum dapat menjawab perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan.
Selain itu, masih perlu disinkronisasikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait agar dapat menjadi dasar hukum yang efektif, efisien, dan komprehensif dalam penyelenggaraan pertambangan.
"Hal itulah yang mendasari perlu adanya perubahan terhadap UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara," ujarnya dalam Sidang Paripurna DPR RI, Selasa (12/5/2020).
Sugeng menuturkan RUU Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba), telah memulai proses penyusunannya sejak tahun 2015.
RUU Minerba tersebut telah menjadi program legislasi nasional tahun 2015 — 2019, dan telah menjadi program prioritas tahun 2015, 2016, 2017 dan 2018.
Presiden RI Joko Widodo, lanjutnya, telah menyampaikan Surat Nomor R-29/Pres/06/2018 tanggal 5 Juni 2018 perihal Penunjukan Wakil Pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Dalam surat tersebut, Presiden menugaskan Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mewakili Presiden dalam pembahasan RUU ini," katanya.
Memasuki periode keanggotaan DPR RI 2019 - 2024 dan berdasarkan hasil Rapat Paripurna ke-6 Masa Persidangan II 2019 - 2020 pada 22 Januari 2020 RUU Perubahan atas Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) atau Prolegnas Prioritas 2020 san telah disepakati untuk dilanjutkan pembahasannya pada DPR RI Periode 2019 - 2020 (Carry Over).
"Setelah RUU Minerba ditetapkan menjadi RUU yang di carry over, Komisi VII DPR RI melanjutkan proses pembahasan yang oleh periode keanggotaan sebelumnya belum sempat terselesaikan," ucap Sugeng.
Selanjutnya pada tanggal 13 Februari 2020 dilaksanakan Rapat Kerja (Raker) dengan Pemerintah untuk melanjutkan pembahasan/pembicaraan tingkat I lanjutan dengan tahapan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba sebanyak 938 DIM dan penetapan anggota panja RUU Minerba.
"Proses pembahasan DIM RUU Minerba dilaksanakan secara intensif dari tanggal 17 Februari 2020 hingga 06 Mei 2020," ujarnya.
Selain itu, disela-sela proses pembahasan, tim panja RUU Minerba Komisi VII DPR RI menerima masukan dan pandangan dari Tim Peneliti Fakultas Hukum UI pada tanggal 7 April 2020 dan juga melaksanakan rapat dengan Komite Il DPD RI pada tanggal 27 April 2020.
Meski RUU Minerba ini telah dibahas lebih dahulu. Namun, RUU Minerba juga telah disinkronisasikan dengan RUU Cipta Kerja sebagaimana keinginan dari Pemerintah.
Hasil sinkronisasi dan harmonisasi dengan RUU Cipta Kerja kemudian menghasilkan beberapa perubahan substansi sehingga perlu dilakukan penyesuaian.
Hal itu antara lain terkait kewenangan pengelolaan pertambangan minerba, penyesuaian nomenklatur perizinan, dan kebijakan terkait divestasi saham.
"Namun khusus yang terkait divestasi aaham, Komisi VII DPR RI bersepakat, pencantuman divestasi saham badan usaha asing sebesar 51% mutlak dicantumkan di dalam batang tubuh RUU," tutur Sugeng.