Bisnis.com, JAKARTA — Rezim defisit fiskal di atas 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) bakal berlanjut.
Melalui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2021, defisit fiskal pada 2021 diusulkan pada kisaran 3,21 persen—4,17 persen terhadap PDB.
Dalam Sidang Paripurna DPR kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, besaran defisit di atas 3 persen dari PDB diperlukan agar proses pemulihan ekonomi bisa berjalan bertahap dan tidak mengalami hard landing yang berisiko memberikan guncangan.
“Hal ini mengingat kebijakan fiskal menjadi instrumen yang sangat strategis dan vital dalam proses pemulihan ekonomi,” kata Sri Mulyani, Selasa (12/5).
Pelebaran defisit terutama disebabkan oleh tekanan pada penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sri Mulyani mengatakan, rasio perpajakan pada 2021 diperkirakan sebesar 8,25 persen—8,63 persen dari PDB.
Baca Juga
Hal ini karena masih ada tambahan insentif perpajakan pada tahun depan yang akan dikeluarkan untuk percepatan pemulihan ekonomi. Aktivitas perekonomian yang belum sepenuhnya bisa pulih juga dinilai masih menekan rasio perpajakan.
Berdasarkan catatan Bisnis, target rasio perpajakan pada tahun ini adalah sebesar 8,69 persen dari PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan 2021 yakni di kisaran 8,25—8,63 persen.
Ekonom CORE Indoensia Yusuf Rendy Manilet menilai tekanan defisit akan timbul karena pertumbuhan belanja dan insentif perpajakan yang terus berlanjut, terutama karena adanya upaya pemerintah untuk menekan angka kemiskinan dan pengangguran yang diprediksi meningkat pada tahun ini.
Menurutnya, penerimaan perpajakan kemungkinan besar tidak dapat bertumbuh terlalu tinggi mengingat masih berjalannya proses pemulihan ekonomi pada tahun depan.
“Insentif perpajakan memang masih diperlukan pada tahun depan, karena proses konsolidasi ekonomi masih berlanjut,” kata Yusuf.