Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Stimulus Penyemangat Maskapai Penerbangan, Dari American Airlines Hingga Garuda Indonesia

Tak terbang, berarti biaya operasional pesawat dan perusahaan semakin besar.
Pesawat milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia bersiap melakukan penerbangan di Bandara internasional Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara akhir pekan lalu (8/1/2017)./Bisnis-Dedi Gunawann
Pesawat milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia bersiap melakukan penerbangan di Bandara internasional Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara akhir pekan lalu (8/1/2017)./Bisnis-Dedi Gunawann

Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu sektor usaha yang begitu terdampak dengan wabah Covid-19 adalah sektor transportasi udara.

Mata rantai penyebaran virus Corona yang harus diputus membuat pergerakan manusia semakin terbatas. Penggunaan media transportasi termasuk pesawat terbang tak lagi banyak.

Semakin banyak pesawat yang terpaksa parkir di bandara, tak lagi terbang. Ini adalah masa-masa sulit bagi industri transportasi udara global.

Bahkan menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), wabah virus corona bisa membuat laju permintaan perjalanan udara turun untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir.

Tahun ini, proyeksi terbaru IATA menunjukkan permintaan perjalanan udara akan terkontraksi 0,6 persen, atau sangat jauh dari prediksi sebelumnya yang bisa tumbuh 4,1 persen.

Dampaknya pun jelas, maskapai global diperkirakan kehilangan pendapatan lebih dari 29 miliar dolar AS, atau sekitar Rp400 triliun tahun ini.

Jika dampak virus Corona ini terus meluas, pendapatan maskapai global akan hilang lebih besar lagi.

Seberapa lama dampak ini terus berlangsung?

Bila mengacu pada pengalaman penanganan wabah SARS di 2003, pandemi ini akan menciptakan pola V tajam pada grafik permintaan perjalanan udara. Kondisi yang anjlok akan berlangsung sekitar enam bulan, dan setelah itu, bisnis aviasi kembali pulih dengan cepat.

Namun, sebelum itu terjadi nafas maskapai memang sangat berat. Tanpa pemasukan rutin, maskapai penerbangan akan sulit untuk 'take off'.

Di Amerika Serikat, puluhan maskapai penerbangan besar dan kecil kesulitan keuangan. Peran pemerintah pusat pun diharapkan oleh pelaku usaha aviasi.

Pada April lalu, Kongres AS telah menyetujui beleid yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk  memberikan dana talangan (bailout) yaitu paket senilai 25 miliar dolar AS bagi maskapai penerbangan penumpang, 4 miliar dolar AS untuk operator kargo dan 3 miliar dolar AS untuk kontraktor bandara.

Di tahapan awal, dana senilai 2,9 miliar dolar AS telah diberikan pemerintah AS kepada maskapai dalam negerinya.

Ada enam maskapai yaitu American Airlines Group Inc, Delta Air Lines Inc., Southwest Airlines Co. dan United Airlines Holdings Inc. yang telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah federal untuk menerima bantuan.

Di Eropa, sejumlah negara tengah dan telah membahas dan menyetujui paket bantuan finansial agar maskapainya tidak rontok.

Komisi Eropa menyetujui, sesuai aturan bantuan negara UE, bantuan senilai 7 miliar euro dari pemerintah Prancis dalam bentuk jaminan pinjaman dan pinjaman pemegang saham kepada Air France dalam rangka menyediakan likuiditas yang mendesak kepada perseroan di tengah wabah corona.

Air France dan juga KLM, dua maskapai besar yang dimiliki Prancis dan Belanda  masing-masing 14 persen, membutuhkan dana besar.

Pemerintah Belanda berencana memberikan dana talangan antara 2-4 miliar euro kepada KLM dalam bentuk pinjaman dan jaminan.

Maskapai penerbangan raksasa lainnya, Lufthansa kini menanti paket talangan 10 miliar euro dari pemerintah Jerman. Hal itu karena flag carrier Jerman ini mengalami kerugian 1 juta euro selama pandemi Corona.

Injeksi dana ke Lufthansa tersebut akan membuat kepemilikan saham pemerintah Jerman bertambah menjadi 25,1 persen.

Di Indonesia bagaimana? Kondisi perusahaan aviasi di Tanah Air tak jauh berbeda dengan maskapai di negara lain.

Ratusan pesawat Garuda Indonesia Group, Lion Group dan Sriwijaya Group, serta perusahaan aviasi lainnya seperti Susi Air dan lainnya, terparkir diam di hampir semua bandara. 

Tak terbang, berarti biaya operasional pesawat dan perusahaan semakin besar.

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.misalnya, membutuhkan dana besar untuk menjaga likuiditas perseroan. Sebagai badan usaha milik negara, dukungan pemerintah pun diperlukan.

Dikutip dari Bloomberg, Senin (11/5/2020), pemerintah siap mengucurkan dana segar 1 miliar dolar AS untuk menyelamatkan Garuda dari lilitan utang dengan 500 juta dolar ASdi antaranya untuk melunasi sukuk jatuh tempo dan sisanya modal kegiatan selama tiga hingga enam bulan.

Hal tersebut dikatakan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo. Menurutnya, bisnis penerbangan Garuda masih bakal menarik pascapandemi Covid-19.

Kartika menyebut Garuda telah meminta kepada pemegang sukuk globalnya agar menerima beberapa opsi. Opsi yang diajukan yakni perpanjangan masa jatuh tempo hingga tiga tahun atau pembayaran secara bertahap.

Mengutip laporan keuangan 2019, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. memiliki total pinjaman senilai 1,83 miliar dolar AS dan pinjaman bersih senilai 1,53 miliar dolar AS.

Sementara itu, posisi ekuitas mencapai 720,62 juta dolar AS. Dengan demikian, posisi debt to equity ratio (DER) perseroan mencapai 2,55 kali, dan net debt to equity ratio perseroan mencapai 214 persen.

Garuda pun tercatat memiliki liabilitas jangka pendek yang cukup besar per akhir 2019, yakni 3,25 miliar dolar AS. Kewajiban jangka pendek itu mendominasi total liabilitas perseroan yang mencapai 3,73 miliar dolar AS.

Dari jumlah tersebut, 984,85 juta dolar AS di antaranya merupakan pinjaman bank. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman bank terafiliasi sebanyak 540,09 juta dolar AS dan 444,75 juta dolar AS kepada bank pihak ketiga.

Salah satu utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat yakni sukuk global yang terbit pada 2017 senilai 500 juta dolar AS pada 3 Juni 2020.

Dukungan finansial negara-negara terhadap industri aviasi adalah langkah yang sangat signifikan untuk menjaga keterhubungan dunia.

Namun, stimulus tidak harus berupa pemberian dana segar, selama arus kas perusahaan tersebut tetap lancar.

Maskapai juga membutuhkan alternatif dukungan seperti penundaan pembayaran bahan bakar avtur, menurunkan atau meniadakan bea masuk suku cadang, landing fee, jasa navigasi dan tarif jasa bandara lainnya.

Di sisi bisnis kargo dan penumpang, beberapa kebijakan pengecualian perlu dilakukan seperti penerapan syarat kondisi kahar, pemanfaatan kompartemen kargo tambahan, ataupun penyesuaian aturan batas tarif bawah dan atas.

Dengan dukungan yang optimum akan membuat maskapai penerbangan bisa "take off" dan "landing" dengan lancar, aman, dan tepat waktu. Pemulihan bisnis aviasi akan membuat perekonomian global juga kembali terakselerasi lebih cepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Fahmi Achmad
Editor : Fahmi Achmad
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper