Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah mematangkan rencana pemberian stimulus khusus pertanian guna mengamankan stok pangan serta mengantisipasi kemungkinan gangguan produksi dan penurunan produktivitas apabila pandemi Covid-19 berlangsung lebih lama dari perkiraan.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud mengaku masih ada potensi produksi dalam negeri yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga pasokan. Pasalnya, musim tanam kedua padi akan dimulai Mei—Juni.
"Kalau [penanganan Covid-19] lebih panjang, kami ada penanaman lagi nanti," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (13/4).
Guna menjaga produksi, Musdhalifah mengatakan pemerintah sampai saat ini masih membahas mengenai potensi disediakannya stimulus khusus sektor pertanian. Namun, dia belum berkenan mengungkapkan detail dari rencana stimulus pertanian tersebut.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI) Dwi Andreas Santosa berpendapat kehadiran stimulus khusus produksi pertanian menjadi penting di tengah pandemi.
Pasalnya, para pekerja di sektor pertanian merupakan kelompok dengan penghasilan rendah yang rentan terganggu penghasilannya akibat wabah Covid-19. Terlebih, terdapat potensi gangguan distribusi dan penurunan produksi padi pada musim panen tahun ini.
"Tiga tahun terakhir, produksi [padi] memang terus mengalami penurunan. Pada 2019, misalnya, turun 7,7 persen. Saya khawatir tahun ini lebih rendah karena musim tanam mundur. Tahun lalu, panen Maret dan April tinggi. Tahun ini, April puncaknya, tetapi Mei sudah anjlok lagi," ujar Dwi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen dan produksi gabah kering giling (GKG) selama Januari–Mei 2020 merupakan yang terendah dibandingkan dengan 2 tahun sebelumnya. Produksi GKG pada periode tersebut diperkirakan berjumlah 25,55 juta ton, turun dari periode yang sama 2019 yang mencapai 28,14 juta ton.
Ancaman lain juga berpotensi hadir jika kemarau tahun ini bakal tak bersahabat seperti tahun lalu. Jika demikian, Dwi menyatakan tak mungkin masa panen kedua juga bakal lebih rendah.
Dwi menyatakan Indonesia bisa saja hanya mengandalkan produksi dalam negeri secara penuh, mengingat stok awal tahun yang dikelola Bulog mencapai 1,8 juta ton. Kendati demikian, dia pun menggarisbawahi pentingnya ketersediaan stok selama periode Oktober 2020—Februari 2021.
"Untuk itu, perlu pendataan yang jelas. Jika ingin berbicara impor, sebaiknya tunggu Juli nanti agar terlihat berapa luas tanam untuk masa panen kedua," katanya.
Terkait dengan ketersediaan daging sapi maupun kerbau, Indonesia setidaknya bisa bernapas sedikit panjang. Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai imbas ekonomi dari Covid-19 dan pemberlakuan PSBB di kota-kota besar dipastikan menekan permintaan daging.
"Kalau di tengah kondisi sekarang, penjagal pun enggan mengambil risiko menjual sapi lokal karena penyerap daging lokal seperti UMKM pun mengurangi operasionalnya," kata Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana kepada Bisnis.
Namun, kondisi ini tak serta-merta membuat ketersediaan bisa ditopang seutuhnya dari produksi dalam negeri. Teguh mengatakan bahwa peternak dalam negeri cenderung menahan ketersediaan sapinya untuk momen Iduladha yang jatuh pada Juli.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi mengatakan pasokan daging impor tetap diperlukan untuk menjaga stabilitas harga. Dia mengemukakan bahwa dalam kondisi saat ini, harga daging kerbau cenderung terkerek karena stok yang makin menipis.
Dalam neraca yang dirilis oleh Kementerian Pertanian, kebutuhan daging sapi atau kerbau selama Maret sampai Agustus diproyeksi mencapai 376.035 ton dengan potensi ketersediaan sebesar 517.872. Dari ketersediaan tersebut, 290.000 ton di antaranya dipasok lewat pengadaan luar negeri.
"Melihat realisasi impor daging kerbau yang terlambat, saya khawatir kenaikan harga daging selama Ramadan tidak bisa dihindari," ujar Asnawi.
Sekadar catatan, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyatakan status masa tanggap keadaan darurat akibat COVID-19 berlaku selama 91 hari sejak 29 Februari sampai 29 Mei 2020.
Ketika dimintai konfirmasi mengenai potensi perpanjangan status tersebut, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB Agus Wibowo mengatakan hal tersebut tidak diperlukan lagi lantaran telah ada status keadaan daerah yang ditetapkan oleh daerah.
"Pemda sudah menetapkan status tanggap darurat atau siaga darurat. Dahulu ditetapkan oleh BNPB karena belum ada daerah yang menetapkan. Semua karena alasan akuntabilitas," ungkap Agus.