Bisnis.com, JAKARTA — Seretnya likuiditas keuangan perusahaan selama wabah virus corona melanda, menjadi salah satu biang keladi maraknya aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani menuturkan seretnya likuiditas keuangan perusahaan yang ditambah dengan beratnya beban biaya tenaga kerja, membuat PHK menjadi salah satu opsi bagi para pengusaha.
Oleh sebab itu, kata Shinta, untuk mengatasi masalah PHK, perusahaan perlu dibantu untuk mengamankan likuiditasnya dan dikurangi beban biaya tenaga kerjanya hingga wabah ini selesai.
“Langkah ini harus dilakukan bersamaan agar perusahaan bisa survive tanpa PHK besar-besaran hingga wabah ini selesai atau terkontrol,” kata Shinta, Jumat (3/4/2020).
Namun, menurutnya, di sisi pengadaan likuiditas, stimulus kredit khususnya restrukturisasi kredit usaha dan relaksasi kredit atau penurunan suku bunga pinjaman oleh pemerintah, sejauh ini masih belum maksimal. Akibatnya distribusi kredit usaha sebagai stimulus ekonomi yang bisa membantu pengadaan likuiditas perusahaan belum memberikan efek likuiditas keuangan yang diperlukan perusahaan.
“Akhirnya, PHK tetap terjadi karena likuiditas keuangan kepada perusahaan tidak didistribusikan secara tepat waktu,” ujarnya.
Baca Juga
Menurutnya, pelaksanaan stimus kredit perlu dipercepat dan dimonitor kelancaran distribusinya tanpa mengganggu kestabilan industri perbankan. Dengan demikian perusahaan bisa memiliki likuiditas keuangan yang cukup untuk bertahan tanpa PHK besar-besaran.
Di sisi lain, imbuhnya, beban tenaga kerja bagi pelaku usaha juga perlu dikurangi karena dalam kondisi penurunan produktivitas dan penurunan permintaan pasar yang ekstrim, para pengusaha kesulitan untuk menanggung beban biaya tenaga kerja normal.
“Oleh karena itu, harus ada kompromi untuk penangguhan atau pengurangan beban biaya tenaga kerja selama wabah, misalnya penundaan pembayaran THR, menghentikan sementara kewajiban pembayaran BPJS, renegosiasi upah sesuai dengan penurunan produktifitas yangg terjadi di perusahaan dan lainnya,” ujarnya.
Tak hanya itu, Shinta berharap agar pemerintah segera menyadari bahwa paket stimulus yang sudah dikeluarkan saat ini sudah perlu ditambahkan untuk mencakup sebanyak mungkin manfaat dari semua sektor usaha yang membutuhkan. Menurutnya, stimulus tidak lagi hanya di sektor pariwisata dan manufaktur.
Hal ini dibutuhkan karena perkembangan wabah yang sedemikian pesat membuat dampak negatif ekonomi tidak lagi hanya terkonsentrasi di sektor manufaktur dan pariwisata. Menurutnya, dampak negatif wabah corona sudah menjalar ke berbagai sektor usaha, termasuk transportasi dan logistik, ritel, real estate, dan jasa bisnis.
“Kami harap kedepannya stimulus bisa diperluas [sesuai dengan kemampuan finansial pemerintah] untuk mencakup sebanyak mungkin sektor yang terkena dampak. Pada saat yang bersamaan, kami juga mendesak pemerintah melakukan upaya penanganan wabah yang lebih efektif lagi daripada saat ini karena selasa wabah tidak terkontrol di Indonesia, ekonomi nasional akan semakin sulit diselamatkan meskipun stimulus yang bisa disediakan tidak terbatas.”