Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia akan menghadapi gejolak yang cukup besar akibat dampak virus corona (Covid-19).
Dia membuat tiga skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, asumsi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020 ekonomi diproyeksi tumbuh 5,3 persen dengan asumsi harga minyak dunia US$62 per barel, dan inflasi 3,1 persen.
Kedua skenario ekonomi berat dengan proyeksi pertumbuhan 2,3 persen, harga minyak dunia US$38 per barel dan inflasi 3,9 persen.
Ketiga, skenario ekonomi sangat berat dengan proyeksi pertumbuhan minus 0,4 persen, harga minyak dunia US$31 per barel, dan inflasi 5,1 persen.
"Pertumbuhan ekonomi kita perkirakan akan turun ke 2,3 persen, dan bahkan yang paling buruk bisa negatif 0,4 persen. Kondisi ini menimbulkan penurunan kegiatan ekonomi dan menekan lembaga keuangan," ujar Sri Mulyani dalam video conference Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Rabu (1/4/2020).
Kontraksi ekonomi karena terpapar virus corona itu, pemerintah mencoba menahan dengan memberikan stimulus senilai Rp405 triliun. Penambahan stimulus tersebut membuat defisit anggaran 2020 bakal mencapai 5,07% dari PDB.
Baca Juga
Sri Mulyani menerangkan defisit akan timbul karena turunnya pendapatan akibat insentif serta penurunan performa korporasi serta naiknya belanja.
Dari sisi perpajakan, dalam Perppu No. 1/2020 pemerintah merelaksasi tarif PPh Badan menjadi tinggal 22% pada 2020 dan akan ada pengurangan 3% bagi WP Badan yang sudah terdaftar di bursa efek yang 40% sahamnya dimiliki oleh publik.
Sebelum Perppu, pemerintah juga telah mengeluarkan insentif untuk sektor manufaktur tertentu atas beberapa jenis pajak yakni PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, angsuran PPh Pasal 25, hingga restitusi PPN dipercepat.
Dari sisi belanja, ke depan akan sangat mungkin muncul belanja-belanja yang timbul untuk memenuhi kebutuhan penanganan Covid-19.
Defisit masih mungkin untuk mengecil karena ke depan bisa saja ada banyak belanja kementerian lembaga (K/L) yang tidak terealisasi karena K/L saat ini tidak mungkin untuk melakukan kegiata secara fisik.
Belanja non-K/L seperti belanja subsidi juga berpotensi turun karena konsumsi masyarakat atas BBM juga turun. Artinya, belanja yang tidak terserap ini bisa memperkecil defisit anggaran dari angka 5,07% PDB yang pernah diumumkan sebelumnya.
Setelah 2020, defisit akan terus ditekan di bawah defisit 2020 dan akan kembali di bawah 3% dari PDB pada 2023.
"Skenario ini mungkin kalau tidak ada krisis keuangan. Kalau terjadi, ini yang mengubah semua penghitungan dan ini yang kita upayakan tidak terjadi," ujar Sri Mulyani, Rabu (1/4/2020).