Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rajawali Ngepret Rizal Ramli Protes Kebijakan Pelebaran Defisit

Ketimbang melebarkan defisit anggaran menjadi 5,07 persen, pemerintah seharusnya melakukan realokasi anggaran secara radikal.
Mantan Menko Maritim Rizal Ramli (kanan) memberikan keterangan pers saat melakukan pelaporan terkait pencemaran nama baik dirinya oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, di Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta, Selasa (16/10/2018)./ANTARA-Aprillio Akbar
Mantan Menko Maritim Rizal Ramli (kanan) memberikan keterangan pers saat melakukan pelaporan terkait pencemaran nama baik dirinya oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, di Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta, Selasa (16/10/2018)./ANTARA-Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA - Langkah yang dilakukan pemerintah Presiden Joko Widodo untuk memperlebar defisit anggaran menjadi 5,07 persen dinilai sebagai tindakan gegabah.

Mantan menko bidang perekonomian Rizal Ramli menilai pemerintah seharusnya melakukan realokasi anggaran secara radikal, dibandingkan melebarkan defisit.

"Yakni menghentikan sementara semua proyek-proyek infrastruktur, termasuk pemindahan ibu kota baru," ujar Rizal Ramli, Selasa (1/4/2020).

Rizal Ramli melihat pelebaran defisit ini hanya akan menambah utang sebagai pembiayaannya kemudian.

"Cetak utang dengan bungkus recovery bond, nilai rupiah akan semakin jatuh," ungkapnya.

Hal ini mengingatkan dirinya akan skema pengembalian BLBI dalam bentuk aset. Saat itu, IMF memaksa menjual aset BLBI dengan recovery rate sekitar 25 persen.

"Tanpa governance dan transparansi yang benar, R-bonds [recovery bonds] kemungkinan hanya akan jadi skandal keuangan berikutnya," tegas Rizal Ramli.

Mantan menteri keuangan Chatib Basri mengemukakan dirinya memahami keputusan pemerintah karena di tengah krisis pemenuhan pembiayaan memang sulit.

"Namun saya ingin mengingatkan bahwa pembelian obligasi oleh Bank Indonesia, memiliki resiko meningkatkan inflasi," ujar Chatib di akun Facebook miliknya, Rabu (1/4/2020).

Oleh karena itu, dia memandang pemerintah dan Bank Indonesia perlu duduk bersama untuk menentukan berapa inflasi yang memang 'bisa diterima' sebagai biaya.

Dari penetapan ini, bisa diukur besaran obligasi yang bisa dibeli oleh Bank Indonesia.

"Sebab bila sizenya amat besar maka inflasi akan naik tajam dan juga akan memukul ekonomi kita," tambahnya.

Dalam hal ini, kesepakatan penyesuaian (fine tunning) mengenai besaran obligasi yang akan dibeli Bank Indonesia akan menjadi amat penting.

Terkait dengan kebijakan menaikkan batas defisit anggaran, ekonom senior Universitas Indonesia ini menilai pemerintah telah mengambil langkah tepat.

"Saya kira ini juga langkah yang tepat mengingat kebutuhan dana begitu besar," ujarnya.

Chatib mengingatkan Indonesia tidak bisa membandingkan diri dengan AS, Singapura, Australia yang memberikan stimulus besar untuk mengatasi corona sebesar 10 persen dari PDB.

"Tetapi saya kira angka Rp 405 trilun [2.5 persen dari GDP] adalah angka yang signifikan."

Setidaknya, Indonesia bisa lebih besar dibandingkan Perancis, Italia, Spanyol, Malaysia dan beberapa negara lain termasuk India.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Hadijah Alaydrus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper