Bisnis.com, JAKARTA–Melorotnya indeks penjualan riil (IPR) pada Januari 2020 menjadi indikasi amblesnya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I/2020.
Bank Indonesia melaporkan IPR Pada Januari 2020 terkontraksi -0,3 persen (yoy) dan IPR pada Februari 2020 diproyeksikan akan kembali amblas ke angka -1,9 persen (yoy).
Untuk kuartal I/2020, IPR diproyeksikan bakal mengalami kontraksi hingga -1,1 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan kuartal IV/2019 dimana IPR masih mampu tumbuh 1,5 persen (yoy) dan berbanding terbalik dengan kuartal I/2019 dimana IPR tumbuh melesat hingga 8,8 persen (yoy).
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet mengatakan jika berkaca pada 2017 ketika IPR kuartal I/2017 turun, kondisi tersebut juga diikuti dengan penurunan konsumsi rumah tangga yang kala itu hanya mencapai 4,94 persen (yoy).
"Saya pikir untuk tahun ini juga akan mirip dan bahkan bisa lebih rendah. Apalagi ditambah kinerja perdagangan internasional yang masih dipengaruhi masalah Corona," kata Yusuf, Selasa (10/3/2020).
Implikasinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 kemungkinan besar tidak mencapai 5 persen (yoy).
Baca Juga
Selain melihat pada IPR, konsumsi rumah tangga sudah nampak melambat apabila berkaca pada inflasi inti yang rendah. Hal ini menunjukkan menurunnya permintaan barang.
Ekonom Indef Abdul Manap Pulungan mengatakan bahwa data ini mengindikasikan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga bakal lebih rendah dari kuartal IV/2019 dimana konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,97 persen (yoy), di bawah level psikologis 5 persen.
Mengingat kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB yang mencapai 57,32 persen, penurunan konsumsi bakal menekan laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2020 ini.
"Saat ini ekonomi lagu terpuruk, jadi pendorong orang untuk belanja terbatas. Apalagi banyak harga-harga barang yang diatur pemerintah melonjak," kata Abdul, Selasa (10/3/2020).
Harga komoditas yang serempak anjlok pun memperparah keadaan. Penurunan harga komoditas ini bakal turut menekan perekonomian di daerah-daerah yang bergantung pada komoditas seperti Kalimantan, Sumatera, dan Papua.
Perkembangan politik yang muncul akibat pembahasan Omnibus Law juga dinilai menjegal konsumsi rumah tangga. Menurut Abdul, munculnya UU tersebut membuat konsumen menahan diri untuk berbelanja.