Ekspor Indonesia Terancam
United States Trade Representatives (USTR) telah memperketat negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dari pengenaan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD).
Kondisi ini membuat Indonesia akhirnya harus keluar dari daftar negara berkembang yang selama ini memperoleh fasilitas bebas dari pengenaan tarif antisubsidi jika margin subsidinya tidak melewati ambang batas yang dipersyaratkan.
Dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat bisa saja berdampak kepada ekspor Indonesia ke Negara Paman Sam.
Mengapa?
Bentuk pengamanan perdagangan atau trade remedies yang digunakan oleh Amerika Serikat tersebut menjadi salah satu instrumen untuk melindungi produk sejenis di dalam negeri.
Sudah bukan rahasia lagi, ketika masuk dalam ‘perangkap’ tuduhan Amerika Serikat, produk ekspor terkait akan sulit melepaskan diri.
Dalam kasus ini, ketika suatu produk ekspor dituduh telah mendapatkan subsidi dari negara atau perusahaan, akan sulit bagi produk ekspor terkait untuk lepas sepenuhnya dari tuduhan itu.
Pasalnya, Amerika Serikat bisa menggunakan mekanisme peninjauan kembali untuk kembali mengenakan bea masuk imbalan atas suatu produk.
“Ketika suatu produk sudah dikenakan tuduhan subsidi atau trade remedies lainnya oleh AS, lebih baik cari pasar lain. Kita akan sulit melepaskan diri. Segala cara bisa dipakai untuk tetap mengenakan bea masuk imbalan atas produk kita,” ujar Pradnyawati, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Selasa (26/2/2020).
Apabila tuduhan terus berlanjut, bukan tidak mungkin ekspor kita ke negara itu akan terkoreksi.
Adapun berdasarkan data Bada Pusat Statistik (BPS) pada 2019 nilai ekspor Indonesia ke AS tercatat US$17,7 miliar. Dalam hal ini Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan AS sebesar US$9,2 miliar.
Saat ini, produk Indonesia yang mendapat tuduhan subsidi oleh Amerika Serikat mencakup biodiesel dan utility scale wind towers yang masing-masing nilainya berjumlah US$255,56 juta dan US$90,38 juta.
Sementara itu, Pradnyawati mengemukakan bahwa sejumlah produk lain yang yang rentan menjadi objek penyelidikan subsidi oleh AS adalah besi dan baja, berbagai jenis kertas, dan sawit beserta produk turunannya.