Hari-hari ini, topik tentang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi perbincangan hot. Muncul protes dan penolakan.
Ini lantaran substansi Omnibus Law Cipta Kerja menyentuh sejumlah isu sensitif, terutama perburuhan. Bahkan, saat namanya masih Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, kalangan asosiasi buruh menyingkatnya menjadi RUU Cilaka.
Kenapa banyak protes?
Tampaknya, ada gap komunikasi dalam mempersepsikan Omnibus Law itu. Ada misinformasi dan disinformasi tentang substansi dari RUU Cipta Kerja setebal 1000-an halaman itu. Karenanya, wacana publik cenderung miscontext.
Narasi publik yang terbangun menyebutkan bahwa RUU ini lebih "pro pengusaha, mengebiri hak-hak buruh". Narasi itu kini menjadi alat legitimasi gerakan protes buruh menolak RUU Cipta Kerja. Dinamika tersebut rasanya normal saja.
“(Sebab) Persepsi yang membuat dan yang membaca belum tentu sama,” kata Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian, Selasa (18/2/2020).
Baca Juga
Sejumlah pengunjukrasa yang tergabung dalam PMB (Persatuan Mahasiswa Banten) berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Rabu (12/2/2020). Mereka mendesak pemerintah untuk menghentikan rencana pencabutan subsidi sosial, menurunkan harga kebutuhan pokok serta membatalkan rencana pengesahan RUU Omnibus Law. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
***
Cara saya membaca Omnibus Law Cipta Kerja simpel saja. Ada tujuan besar: membuat masyarakat banyak bisa memperoleh pekerjaan.
UU itu akan mendorong pengusaha berani membuat pabrik-pabrik baru, terutama padat karya, yang menyerap banyak tenaga kerja. Tentu sambil "melindungi" investasi yang sudah ada. Menjaga agar perusahaan-perusahaan yang sudah berbisnis di Indonesia tetap bertahan.
Juga mendorong agar produk mereka memiliki daya saing untuk dijual sebagai pengganti impor, atau bahkan masuk pasar ekspor. Bahasa ekonominya, buka peluang investasi sebesar-besarnya. Karena itulah, hambatan investasi mesti dibabat habis. Mulai dari isu perpajakan, proses perizinan, birokrasi biaya tinggi, kesulitan dalam pembebasan lahan, hingga isu perburuhan.
Isu perburuhan ini memang strategis, sekaligus dilematis. Ini terutama terkait dengan industri padat karya yang menciptakan banyak lapangan kerja. Karena itu, Omnibus Law menawarkan insentif khusus terkait dengan sistem pengupahan baru bagi industri padat karya.
Bagi ekonomi Indonesia, dengan karakteristik jumlah penduduk yang besar, industri padat karya menjadi sangat relevan. Ia menjadi penopang ekonomi, karena mencipta banyak lapangan kerja. Namun, beberapa tahun terakhir, industri padat karya "mati suri". Utamanya di wilayah seputar Jabodetabek dan Jawa Barat.
Untuk sekadar menyebut contoh, industri elektronik konsumsi, tekstil dan produk tekstil, serta garmen. Kalau tidak tutup karena tak kuat menanggung biaya, mereka pindah ke lain wilayah di Indonesia. Tak sedikit bahkan hengkang ke negara lain, Bangladesh dan Vietnam.
Salah satu sebabnya adalah daya saing pengupahan. Sekadar ilustrasi, tenaga kerja baru di Bekasi, harus dibayar minimum Rp4,8 juta. Upah itu pukul rata, tanpa memperhitungkan pengalaman dan keterampilannya. Dasarnya adalah Upah Minimum yang ditetapkan oleh pemda.
Bagi industri padat karya dengan puluhan ribu tenaga kerja, upah sebesar itu menjadi komponen biaya yang tidak kompetitif. Karenanya, pabrik tutup dan pindah ke lain lokasi.
Selama lima tahun terakhir, banyak pabrik di seputar Jakarta hengkang. Akibatnya, puluhan ribu buruh bahkan ratusan ribu buruh, kehilangan pekerjaan. Jawa Tengah menjadi salah satu pilihan relokasi favorit, mengingat upah minimum di Jateng jauh lebih murah, di kisaran Rp1,8 juta hingga Rp2,5 juta.
Untuk pabrik yang mempekerjakan puluhan ribu buruh, tentu menjadi jauh lebih efisien. Akibatnya, wilayah seputar Jabodetabek makin ditinggalkan industri padat karya.
Data Jetro mendukung gambaran tersebut. Dalam riset terbaru tentang profil tenaga kerja Indonesia, Jetro (Japan External Trade Organization) menemukan selama 5 tahun terakhir sejak 2015, kenaikan upah sektor manufaktur di Indonesia mencapai US$98. Bandingkan dengan Vietnam yang hanya US$51.
Sebaliknya, kenaikan tingkat produktivitas Indonesia hanya 74,4 persen, kalah dibandingkan dengan Vietnam yang naik 80 persen. Bahkan, peringkat produktivitas Indonesia berada di urutan tiga terbawah, alias terburuk di Asean.
Itu sebabnya, 55,8 persen perusahaan Jepang menyatakan tidak puas dengan produktivitas tenaga kerja Indonesia. Apalagi dibandingkan dengan kenaikan upah minimum yang dibayarkan. Padahal, di negara Asia Tenggara lainnya, tingkat ketidakpuasan investor Jepang hanya di level 30,6 persen.
Jadi beralasan, bila pabrik-pabrik yang semula berada di Indonesia, lalu pergi. Sebaliknya pabrik baru tidak berani masuk karena berbagai hambatan. Hambatan-hambatan investasi itulah yang hendak dibereskan melalui RUU Cipta Kerja.
Sejumlah pekerja mengerjakan kubah Masjid Raya Provinsi Riau di Kota Pekanbaru, Kamis (20/2/2020). Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia meminta pemerintah untuk merevisi draft Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh karena menghapus ketentuan upah minimum di kabupaten/kota, menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan, hingga menurunkan pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja. ANTARA FOTO/FB Anggoro
***
Dalam konteks itulah, saya melihat Omnibus Law Cipta Kerja menjadi terobosan sekaligus jalan keluar.
“Job Creation Act” itu akan membuka kesempatan kerja lebih luas. Dengan kata lain, Omnibus Law Cipta Kerja akan memberi manfaat besar bagi masyarakat yang belum bekerja.
Tentu saja, sembari tetap mempertahankan dunia usaha yang sudah memberi kerja. Dengan bekerja, masyarakat akan memiliki penghasilan. Penghasilan akan menopang daya beli. Daya beli masyarakat akan menjadi mesin bagi perputaran ekonomi. Efeknya spiral ke atas, akan kian membuka dan menciptakan kesempatan kerja lebih lanjut.
Kita harus menghentikan kabar buruk selama lima tahun terakhir, di mana pertumbuhan realisasi investasi hanya di kisaran 5%. Pasalnya, dunia usaha takut untuk investasi baru. Jika itu terus dibiarkan, dampak negatifnya akan makin luas. Pekerjaan akan makin sulit dicari, dan boleh jadi akan makin banyak buruh di-PHK. Apalagi ada efek perang dagang dan dampak virus Corona.
Jangan sampai pula, Indonesia kian dibanjiri segala macam barang impor termasuk tekstil dan produk tekstil yang menjadi kebutuhan sehari-hari, lantaran pabriknya hengkang ke luar negeri.
Kalau ini terjadi akan menjadi bencana ekonomi yang sesungguhnya. Sulit cari kerja, dan barang kebutuhan masyarakat dibanjiri produk impor. Ekonomi kita jadi "cilaka" yang sesungguhnya. Kita akan terus mengalami defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan dan bahkan defisit anggaran.
Pekerja melakukan bongkar muat semen kedalam kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (14/2/2020). Pemerintah akan melakukan sosialisasi secara rinci kepada masyarakat Indonesia terkait Omnimbus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan sehingga mampu menunjang perekonomian tanah air. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Mengapa defisit anggaran?
Ya, karena ekspansi usaha yang tersendat, dunia usaha yang lesu, akan mengurangi penerimaan pajak bagi negara. Jika kabar buruk itu terjadi, maka APBN akan semakin loyo, dan tidak memiliki daya dorong maksimal dalam menggerakkan perekonomian. Maka, dalam konteks itulah, Omnibus Law Cipta Kerja dibutuhkan.
Melihat isi RUU Cipta Kerja, semestinya bisa memberikan harapan yang lebih optimistis. Secara komprehensif, dan konteks kebutuhan ekonomi Indonesia, Omnibus Law Cipta Kerja semestinya akan mengatasi tiga isu sekaligus: Kepastian, Kecepatan dan Efisiensi.
Tiga mantra itulah yang kerap disebut oleh Bahlil Lahadalia, Kepala BKPM. Untuk membuka usaha, menurut Bahlil yang mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, pebisnis hanya butuh tiga hal itu tadi: “Kepastian, kecepatan dan efisiensi”.
Itulah sesungguhnya yang hendak disinkronisasi dari sekitar 79 Undang-Undang yang menjadi penghambat investasi di Indonesia. Ini bukan semata soal menarik investasi asing. Tetapi juga mengajak investasi dari pengusaha dalam negeri.
Aturan pengupahan hanyalah salah satunya. Banyak aturan lain yang menghantui investasi baru, akan diperbaiki. Terutama di industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja. Selama ini setiap ada kabar baik bahwa investor hendak investasi di Indonesia, selalu kemudian diikuti kabar buruk. Mereka membatalkan rencananya, karena berbagai persoalan yang menghalangi rencana investasi itu.
Anda tentu ingat, beberapa tahun lalu, pabrik ponsel FoxConn gagal masuk ke Indonesia. Mereka akhirnya lebih memilih Vietnam. Kita juga membaca laporan Bank Dunia, sekitar 33 perusahaan China relokasi pabriknya ke Vietnam. Tidak memilih Indonesia. Karenanya, apabila Omnibus Law Cipta Kerja berhasil memperbaiki ketentuan dalam banyak undang-undang yang saling menghambat investasi di Indonesia, kita berharap akan berdampak segera.
Apalagi, paralel dengan pembahasan RUU yang terdiri dari 14 bab, 170 pasal itu, sudah disiapkan 36 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan 7 Rancangan Peraturan Presiden, yang akan mendukung pelaksanaannya segera.
Maka, cara saya memandang: seharusnya Omnibus Law Cipta Kerja ini menjadi Berkah, bukan Cilaka. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)