Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia

Bergabung dengan redaksi Bisnis Indonesia pada 1996. Menulis isu ekonomi makro dan entrepreneurship. Belakangan memberi perhatian pada perkembangan media dan ekonomi digital. Twitter @absusilo

Lihat artikel saya lainnya

NGOBROL EKONOMI: Wabah Corona, Omnibus Law & 100 Hari Jokowi

Transformasi ekonomi menjadi keharusan. Reformasi perpajakan tak bisa ditunda lagi. Investasi perlu menjadi superprioritas. Tujuannya menciptakan pekerjaan, dan menghasilkan daya beli.
Terowongan Sungai Yangtze Wuhan diblokir setelah tersebarnya virus corona di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Foto diambil (25/1/2020). China Daily via Reuters
Terowongan Sungai Yangtze Wuhan diblokir setelah tersebarnya virus corona di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Foto diambil (25/1/2020). China Daily via Reuters

"Wuhan's contribution to the world: 1. The Hong Kong's demonstrations have been completely stopped, and Hong Kong's social order has rapidly returned to normal; 2. The yellow vest demonstration in France, which has been going on for more than 60 weeks, was terminated by the arrival of a woman from Wuhan; 3. The increasingly tension of war situation in the Middle East and the US have suddenly cooled down.……" (Anonim)

Kalimat-kalimat di atas adalah petikan dari “pesan berantai” yang saya peroleh dari percakapan di beberapa grup Whatsapp, Kamis (30/1) siang.

Pesan lengkapnya sebenarnya tidak berhenti pada tiga poin tersebut. Tapi cukuplah saya nukilkan sebagian itu saja.

Jelas, nadanya adalah guyonan. Tapi, coba simak baik-baik, sepintas tampak ada banyak benarnya. 

Cek aja deh. Semenjak wabah alias outbreak virus Corona, yang varian virusnya dinamai 2019-nCoV itu, mulai menjadi berita heboh di seantero jagat menjelang liburan Imlek pekan lalu, publik dunia nyaris melupakan isu perang dagang Amerika-China.

Pasar saham yang sehari-hari selalu meng-konsider perkembangan tensi hubungan AS-China terkait perang dagang, tiba-tiba ganti haluan.

Sentimen para investor lokal dan global, barangkali termasuk para penggoreng saham, pindah topik menjadikan wabah virus Corona sebagai kambing yang bulunya dicat warna hitam.

Ketegangan antara AS dan Iran yang sempat memanas pun seolah dilupakan dalam sekejap. Dan harga minyak tiba-tiba kalem lagi.

Orang sejagat lalu ketakutan terhadap wabah penyakit yang merebak pertama kali dari Wuhan, salah satu kota besar di provinsi Hubei, China, itu.

Nama kota Wuhan, yang sebelumnya nggak banyak orang tahu, menjadi sangat terkenal. Kelelawar juga tambah dikenal, yang ternyata bisa jadi santapan manusia.

Binatang itulah yang dianggap sebagai salah satu sumber malapetaka Wuhan, yang kemudian ternyata ditemukan bisa menular dari manusia ke manusia.

Opini yang berkembang semula menyebutkan virus itu belum ada obatnya. Para pengamat awalnya memperkirakan virus Corona mirip dengan wabah SARS 17 tahun silam.

Belakangan, keadaan mulai tenang, kendati sampai Jumat (31/1), korban tewas akibat virus itu sudah melampaui 200 orang yang kesemuanya warga China.

Namun, sudah banyak negara yang terpapar infeksi virus Corona, mulai dari Asia, Eropa hingga Amerika.

Menurut laporan media, saat ini ada sekitar 7.000 lebih warga dunia yang sudah terpapar virus itu. Badan Kesehatan Dunia atau WHO pun mengumumkan wabah Corona sudah memasuki fase darurat, dan dunia perlu ambil tindakan.

Sebenarnya, semenjak mulai muncul informasi bahwa puluhan pasien yang terinfeksi virus Corona di China bisa disembuhkan, keadaan berangsur-angsur tenang. Tak sepanik sebelumnya.

Apalagi, hanya dalam waktu 7 hari, China langsung menyelesaikan pembangunan rumah sakit khusus untuk mengatasi penyakit akibat virus Corona itu di Wuhan, dengan kapasitas tempar tidur 1000 pasien sekaligus.

Selain sudah berpengalaman dalam menangani kasus wabah SARS tahun 2003 silam, pemerintah China sangat firm dalam menangani kasus itu. Kota Wuhan langsung diisolasi.

Paralel dengan pembangunan rumah sakit itu, concerted effort langsung diterapkan, mulai dari penghentian transportasi antar kota, perjalanan kereta, penerbangan dan larangan bagi warga untuk bepergian.

Itu semua adalah upaya untuk menangkal penyebaran virus yang tak terkendali.

Saya bayangkan, kalau wabah itu munculnya dari Indonesia, betapa lebih paniknya dunia.

Nggak mungkin rasanya Indonesia bisa membangun rumahsakit berkapasitas 1000 kamar dalam 7 hari. Bahkan dalam sebulan atau 100 hari sekalipun.

Apalagi mengisolasi kota. Rasanya akan banyak pihak yang kebakaran jenggot dan protes nggak keruan.

Tentu saja saya, barangkali juga Anda, terus berdoa wabah semacam itu tidak outbreak dari Indonesia. 

***

Kebetulan, Kamis (30/1), genap 100 hari Joko Widodo bersama Ma’ruf Amin dilantik selaku Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024.

Untuk Pak Jokowi, begitu sapaan publik terhadap Presiden yang pernah menjabat Walikota Solo dan  Gubernur DKI Jakarta itu, kurun lima tahun ke depan ini adalah masa jabatan periode kedua.

Pada term pertama, 2014-2019, Pak Jokowi didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kini, Pak JK pensiun, digantikan Kiai Ma’ruf.

Saya sebenarnya nggak ingin latah atau ikut-ikutan ngomongin 100 hari. Namun, apa boleh buat. Terlalu banyak soal dalam 100 hari pemerintahan Pak Jokowi periode kedua ini, yang menyita banyak energi publik. Kesan saya: heboh dan  gaduh.

Tentu bukan soal wabah virus Corona semata. Coba tengok, sepanjang 100 hari awal pemerintahan Pak Jokowi di periode kedua ini, aneka isu publik silang sengkarut di permukaan.

Untuk sekadar mencomot contoh, sebutlah di hari pertama tahun 2020, misalnya, diawali dengan gaduh silang pendapat anggota Kabinet dengan Gubernur DKI soal penanganan banjir di Jakarta.

Lalu, isu seputar lenyapnya Herman Masiku yang kini jadi buronan KPK, dengan respons pemerintah yang menimbulkan banyak keraguan dan tanda tanya.

Juga sebelumnya soal perbedaan jurus kebijakan kelautan yang menyita debat publik, yang mengundang protes keras mantan Menteri Susi Pudjiastuti.

Lihat saja debat ekspor bibit lobster yang nyaris makan waktu berbulan-bulan hingga akhirnya heboh soal kapal ikan China yang ‘masuk’ perairan Natuna.

Juga narasi keras ‘bersih-bersih BUMN’ yang dilancarkan Menteri Erick Thohir terkait dengan sejumlah kasus di perusahaan pelat merah seperti Garuda, Jiwasraya, hingga Asabri.

Isu itu hampir tiap hari menghiasi laman-laman pemberitaan media, yang menciptakan persepsi negatif terhadap kondisi BUMN di Indonesia.

Dan, untuk tidak  memperpanjang isu lainnya lagi, belakangan mulai hot debat publik –dan demonstrasi buruh —menentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja— dengan narasi “lebih pro pengusaha dan merugikan hak buruh”.

Mulailah muncul keraguan, apakah Omnibus Law benar-benar akan didisain seperti tujuan awal, atau dibelokkan demi memenuhi aspirasi protes jalanan begitu saja.

Kini bahkan muncul kekhawatiran, apabila pemerintah membiarkan pengelolaan isu publik dengan cara seperti sekarang ini, banyak energi yang akan terbuang sia-sia.

Jika tidak firm, Kabinet ini bisa saja kehilangan fokus untuk terus memperbaiki kapasitas domestik dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Yang jelas, waktu kerja Pak Jokowi sudah terpotong 100 hari. Waktu akan cepat berlalu, apalagi banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan dengan fokus dan kesungguhan.

Jangan sampai pemerintah terjebak pada “isu-isu sensasi”, lalu “kehilangan substansi”.

Padahal, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini amatlah tidak mudah, baik di tingkat lokal maupun internasional. Dalam isu domestik maupun global.

Setelah isu Corona, pukulan akan bertambah karena isu wabah itu akan membatasi mobilitas manusia global, sehingga dapat memukul sektor pariwisata. Setidaknya dalam jangka pendek.

Bahkan sebelum isu Corona merebak, ekonomi Indonesia sudah ditantang hebat oleh dinamika global akibat perang dagang Amerika-China.

Badai dari utara itu telah menghantam neraca transaksi berjalan yang disumbang oleh defisit dagang yang terus melebar. Kita sulit memacu ekspor, sebaliknya tak kuasa menghadang barang impor.

Tahun 2019 ditandai dengan rekor defisit transaksi berjalan yang besar. Berdasarkan data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan pada kuartal III/2019 mencapai US$7,7 miliar atau 2,7% dari PDB. Pada kuartal sebelumnya, angka defisit itu bahkan lebih besar, US$8,2 miliar atau 2,9% dari PDB.

Seharusnya, kinerja ekonomi lebih bisa dipacu lagi, manakala ekspor dan investasi dapat bergerak kencang.

Sayangnya, investasi juga tak kunjung datang, meski pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama telah menggelontorkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi komprehensif, yang didukung aneka insentif fiskal termasuk keringanan pajak.

Bahkan, Pak Jokowi sempat kesal, saat China tertekan perang dagang, relokasi 30 pabriknya tidak pergi ke Indonesia, tetapi lebih memilih Vietnam.

Dan berita buruknya: akibat investasi yang tak kunjung datang, peluang kerja menjadi begitu terbatas.

Maka, ditambah dampak virus Corona yang diperkirakan memukul lalulintas turis global setidaknya setahun ke depan, lengkap sudah beban perekonomian Indonesia yang harus dibereskan.

***  

Sebenarnya, Omnibus Law yang dirancang pemerintahan Jokowi (Omnibus Law Perpajakan dan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja), didisain sebagai UU “Sapu Jagat” yang impactfull bagi perekonomian.

Saya menyebut impactfull, mengingat ultimate goal-nya adalah menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan bekerja, orang memiliki penghasilan dan daya beli.

Maka, kesejahteraan akan meningkat, lepas dari belenggu kemiskinan, yang pada akhirnya akan menciptakan ekosistem bagi  perputaran roda perekonomian lebih lanjut.

Sayangnya, narasinya tidak disiapkan dengan baik. Sikap beberapa menteri dalam Kabinet juga kadang bertentangan.

Padahal, Pak Jokowi berpacu dengan waktu. Terus terang, kita berharap banyak, pemerintahan ini berani membuat gebrakan. Omnibus Law itu adalah salah satunya.

Fokusnya pada setidaknya penguatan fiskal sebagai stimulan ekonomi, strategi memacu investasi, menggerakkan industri domestik, memacu ekspor dan menggenjot pariwisata.

Intinya, membuat iklim berusaha sekondusif mungkin. As feasible as possible. As attractive as possible. Not business as usual.

Harapannya, produksi domestik bergerak. Industri padat karya tumbuh kembali. Dunia usaha mekar. Ujungnya, lapangan kerja banyak tercipta. Daya beli naik.

Juga, di sisi yang lain, turis banyak berdatangan. Ujungnya, ekonomi bergerak lebih kencang.

Karena itu, lupakan mitos 100 Hari.

Yang pasti, transformasi ekonomi menjadi keharusan. Reformasi perpajakan tak bisa ditunda lagi. Tentu yang mempunyai bigbang impact bagi kegiatan ekonomi.

Investasi perlu menjadi superprioritas. Kalau banyak perusahaan China –Bank Dunia menyebutnya 33 perusahaan— kini relokasi ke Vietnam, tentu bukan karena daya tarik ekonomi Indonesia begitu rendah.

Penyebabnya, di Indonesia masih terlalu banyak ketidakpastian dibandingkan dengan Vietnam. Cost competitiveness, karenanya, menjadi taruhannya.

Resep bagi investasi, terutama padat karya, bukan cuma kemudahan perizinan, bukan pula sekadar insentif perpajakan. Investor butuh stabilitas politik dan keamanan serta kepastian soal aneka regulasi, terutama perburuhan.

Bagaimana investor mau tertarik investasi kalau setiap saat harus menghadapi buruh yang doyan demonstrasi dengan produktivitas relatif rendah? Juga tuntutan upah yang relatif di daerah tertentu tidak rasional, dan kadang menjadi komoditas politik dalam rangka Pilkada?

Maka, meminjam cara China: butuh concerted effort semua pemangku kepentingan, dan kebijakan yang lebih firm dari pemerintah, agar tujuan itu menjadi mungkin.

Karenanya, Omnibus Law, yang akan menyelaraskan jalan keluar atas isu-isu yang menghambat investasi itu, moga-moga saja bisa dinarasikan dengan lebih masuk akal. Juga proses legislasinya bisa lebih cepat, dan politically acceptable.

Jika gagal lagi, ya sudahlah. Lupakan industri padat karya yang mencipta lebih banyak lapangan kerja, dapat hadir lagi di Indonesia. Dan, calon-calon pekerja akan kehilangan harapannya. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arif Budisusilo
Editor : News Editor
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper