Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah mempertimbangkan perubahan kuota Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) produksi batu bara 2020.
Rencana ini pertama kali dihembuskan oleh Dirjen Minerba Bambang Gatot Ariyono pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI pada pekan lalu.
Pertimbangkan pemerintah merivisi RKAB 2020 adalah perbaikan harga batu bara pada semester I/2020. Perbaikan harga, secara tidak langsung ikut mengerek kinerja Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) batu bara.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli berpendapat rencana kembali dinaikkannya RKAB produksi batu bara di tahun ini tujuannya pasti untuk mengejar penurunan current account deficit (CAD).
Selain itu juga sekaligus sebagai antisipasi ekonomi yang cenderung melemah akibat virus corona (Covid-19) melanda China dan sejumlah negara.
"Salah satu usaha yg dapat dilakukan adalah menggenjot ekspor termasuk dari batu bara," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (17/2/2020).
Baca Juga
Adapun, target kuota RKAB tahun ini yang sebesar 550 juta ton, sudah melebihi dari angka yang disepakati di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI sebesar 530 juta ton.
Saat pembahasan RKAB 2020, lanjutnya, memang banyak target atau kuota produksi batubara yang dipotong untuk menurunkan produksi nasional.
"Pemerintah memang berkewajiban untuk mengontrol produksi nasional," katanya.
Kendati demikian, apabila kuota produksi tahun ini kembali dinaikkan, pemerintah memiliki ruang sebesar 60 juta ton atau sebesar 12 persen untuk menyamai realisasi produksi 2019 yang sebesar 610 juta ton.
"Dengan pemotongan produksi yang dilakukan sewaktu pembahasan RKAB kemarin itu tentu ada perusahaan yang siap untuk melakukan itu," katanya.
Namun, pemerintah harus mempertimbangkan juga dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) daerah dimana ada di provinsi tertentu pembahasan RKAP IUP daerah sampai saat ini belum selesai pembahasan dan persetujuannya.
"Artinya ada kemungkinan akan ada penambahan produksi juga dari IUP daerah yang belum masuk ke dalam perhitungan produksi nasional itu," ucap Rizal.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara (APBI) Hendra Sinadia berpendapat rencana untuk menaikkan kuota produksi batu bara di pertengahan tahun ini akan sulit direalisasikan.
Pasalnya, perencanaan produksi telah disusun perusahaan dengan mempertimbangkan sejumlah faktor yakni outlook pasar, rencana penambangan, ketersediaan alat-alat produksi, dan kesesuaian dengan rencana investasi.
"Realisasi produksi batu bara di tahun ini semakin sulit diprediksi karena faktor pergerakan pasar dan harga batubara semakin rumit karena terkendala wabah corona," tuturnya.
Menurutnya, produksi batu bara di kuartal I memang tidak begitu besar hal itu dikarenakan faktor curah hujan yang tinggi dan adanya Tahun Baru Imlek sehingga perdagangan lesu.
Produksi batu bara akan kembali menggeliat pada kuartal II hingga penghujung tahun ini.
"Terus terang tidak bisa diprediksi produksi tahun ini apakah akan melebihi target atau tidak, apalagi kan ada faktor virus corona juga," katanya.
Target PNBP Minerba dipatok Rp44,39 triliun. Adapun realisasi tahun lalu, PNBP sektor minerba mencapai Rp44,93 triliun dari yang ditargetkan Rp43,27 triliun dan menyumbang sekitar 25 persen dari perolehan PNBP ESDM di 2019 yang mencapai Rp172,9 triliun.
Adapun rerata Harga Batubara Acuan (HBA) dalam dua bulan pertama ini yakni US$66,41 per ton dimana di Januari US$65,93 per ton dan pada Feberuari mencapai US$66,89 per ton.
Rerata HBA sepanjang tahun 2019 mencapai US$77,92 per ton, lebih rendah dibandingkan dari rerata HBA pada 2018 yang mencapai US$98,96 juta ton. Lalu rerata HBA tahun 2017 mencapai US$85,91per metriks ton. Di tahun 2016, rerata HBA mencapai US$61,83 per ton.