Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Industri Kakao Indonesia menyatakan tidak mengumpulkan langsung data terkait produksi kakao di kebun maupun pabrikan sendiri. Meskipun demikian, asosiasi lebih memilih data survei yang dikeluarkan oleh lembaga terpercaya.
Dalam pemilihan data, Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) lebih mempercayakan informasi dari International Cocoa Organization (ICCO) ketimbang Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian (Kementan).
Asosiasi beralasan bahwa metode yang digunakan Ditjenbun belum akurat.
"Kalau hasil survei BPS [hasil survey Ditjenbun] dilakukan secara panel terhadap rumah tangga terpilih sebanyak tiga kali kunjungan di enam provinsi dan 12 kabupaten kota pada periode Oktober-Juni," kata Wakil Ketua AIKI Yeniwati kepada Bisnis, Senin (10/2/2020).
Yeni mengatakan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) membuat pemerintah menilai produksi biji kakao dalam negeri masih mencukupi konsumsi nasional. Pasalnya, BPS menyatakan bahwa produksi biji kakao pada 2018 mencapai 561.444 ton, sedangkan ICCO hanya mencatat hingga 220.000 ton.
Jika mencukupi konsumsi, tetapi nyatanya BPS masih mencatat adanya impor kakao pada 2017 dan 2018 masing-masing sebesar 226.613 ton dan 239.377 ton.
Yeni menilai keakuratan data yang diinput merupakan akar masalah yang harus segera diatasi.
Oleh karena itu, Yeni mengapresiasi langkah pemerintah meluncurkan program Satu Data Indonesia (SDI). Hingga saat ini, lanjutnya, pabrikan dan pekebun kakao lebih memilih untuk mengacu data ICCO lantaran data yang disajikan lebih menggambarkan keadaan lapangan.
"Diharapkan SDI dapat menjadi peluang bagi perbaikan data kakao nasional," katanya.