Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha industri pengolahan kakao mengharapkan pemerintah dapat segera membenahi data produksi komoditas tersebut.
Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai perlu menginisiasi perbaikan data agar lebih sesuai dengan kondisi di lapangan.
"Perbaikan data merupakan faktor yang sangat penting agar kebijakan yang diambil pemerintah dapat tepat sasaran," kata Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman kepada Bisnis belum lama ini.
Hal ini diungkapkan Piter kala menanggapi rencana pemerintah dalam meningkatkan ekspor kakao sebanyak tiga kali lipat dalam lima tahun ke depan.
Menyitir data yang dipublikasi Direktorat Jenderal Perkebunan, produksi kakao pada 2019 yang diestimasi berjumlah 596.500 ton ditargetkan dapat meningkat menjadi 970.830 ton pada 2024 mendatang.
"Data produksi tersebut masih berbeda dengan data ICCO [Organisasi Kakao Internasional] yang menyebutkan produksi nasional pada 2019 sekitar 220.000 ton," imbuh Piter.
Organisasi Kakao Internasional (ICCO) memperkirakan produksi kakao Indonesia selama periode 2018/2019 hanya akan mencapai 220.000 ton, turun dibandingkan periode 2017/2018 yang mencapai 270.000 ton.
Adapun berdasarkan data BPS, volume impor biji kakao selama periode Januari– Oktober 2019 tercatat mencapai 207.131 ton, naik 0,43% dibandingkan periode sama pada tahun lalu yang berjumlah 206.234 ton.
"Dalam pandangan saya target produksi tersebut dapat dicapai tapi perlu kerja keras. Tapi perlu dicatat bahwa program harus dilakukan dalam jangka panjang dan tidak bisa hanya pada pemberian bibit unggul. Harus dibarengi dengan pupuk khusus Kakao bersubsidi, pendampingam petani, dan penguatan kelembagaan petani," imbuhnya.
Tenaga Ahli Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Dewan Kakao Indonesia, Soetanto Abdoellah memproyeksi produksi kakao Indonesia pada 2019 cenderung turun dibandingkan 2018. Angkanya pun dia perkirakan tak sebesar data rilisan Kementan.
Dengan menghitung volume ekspor, impor, dan perkiraan konsumsi, Soetanto mengemukakan produksi pada 2018 hanyalah sebesar 366.000 ton. Sementara angka sementara produksi untuk 2019 disebutnya berada di angka 285.000 ton.
"Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh area yang berkurang dan juga masalah produktivitas," ujar Soetanto.