Bisnis.com, JAKARTA — Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia DKI Jakarta menilai bahwa ancaman curah hujan yang ekstrem perlu dihadapi dengan penanganan yang ekstrem dan radikal pula.
Ketua IAP DKI Jakarta Dani Muttaqin mengatakan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan banjir Ibu Kota, kapasitas penanganan banjir saat ini belum memadai.
Padahal, katanya, curah hujan ekstrem pada awal 2020 adalah standar baru (the new normal) yang tidak mustahil akan terjadi pada masa mendatang yang salah satunya diakibatkan fenomena perubahan iklim dan tekanan penduduk yang makin menguat di kawasan metropolitan Jabodetabek.
Adapun, yang dimaksud dengan kapasitas penanganan bencana ialah mencakup penanganan struktur, nonstruktur, regulasi dan tata kelola.
“Perlu ada peningkatan kapasitas penanganan bencana yang ekstrim dan radikal untuk menanggulangi banjir di Jakarta,” ujar Dani melalui siaran pers, Minggu (5/1/2020).
Adapun, yang dimaksud dengan kapasitas penanganan bencana ialah mencakup penanganan struktur, nonstruktur, regulasi dan tata kelola.
Baca Juga
Dari kajian IAP DKI sebagai organisasi profesi perencana kota, tuturnya, langkah ekstrem yang diperlukan untuk meningkatan kapasitas penanggulangan banjir antara lain; di bagian hulu, pembangunan waduk Ciawi dan waduk Sukamahi dengan kapasitas 6,45 juta meter kubik dan 1,65 juta meter kubik. Kapasitas kedua waduk tersebut baru bisa menampung sekitar 30 persen aliran air yang mengarah ke Jakarta sehingga masih dibutuhkan adanya tambahan pembuatan sumur resapan.
Untuk meresapkan sisa air dari hulu dibutuhkan sekitar lebih kurang 192.513 buah sumur resapan. Pembangunan sumur resapan sebanyak itu diperkirakan memerlukan luas permukaan sebesar 76 hektare yang dapat menggunakan lahan-lahan kosong, sempadan, atau pun halaman bangunan fasilitas social dan umum (fasos dan fasum) di bagian hulu Jakarta.
Di bagian tengah dan hilir, pembangunan sodetan dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT) mutlak harus segera dilakukan, agar aliran air di Sungai Ciliwung dapat terpecah mengalir ke KBT sehingga aliran aiar dari Ciliwung bisa bergerak ke barat dan timur, tidak menumpuk dan terhenti di bagian tengah.
Di bagian tengah juga, kata Dani, sistem dan kapasitas drainase yang ada di Jakarta sudah tidak memadai lagi.
Oleh karena itu, harus ada sistem manajemen air yang andal dan optimal. Semua drainase, baik saluran drainase mikro lingkungan maupun drainase makro harus dibenahi sehingga terkoneksi dan dapat berfungsi dengan baik. Dani mengingatkan pentingnya sistem manajemen air untuk mengalirkan air di sistem internal kota yang dianggap sudah diabaikan selama beberapa tahun terakhir.
Terakhir, paparnya, peningkatan kapasitas nonstruktur dan regulasi dapat dilakukan dengan penataan kawasan hulu dengan segera menetapkan rencana tata ruang Kawasan Strategis Nasional Jabodetabek yang sedang direvisi, pengendalian pembangunan di Kawasan hulu, maupun insentif kompensasi pembangunan di kawasan hulu.
“Pembangunan di Puncak maupun kawasan hulu lainnya berdampak pada penerimaan daerah, perlu dipikirkan langkah insentif dan kompensasi yang jelas untuk moratorium pembangunan di hulu,” ujar Dani.
Sementara itu, di tengah dan hilir, Dani juga menyarankan agar dilakukan konsolidasi lahan maupun penertiban bangunan di sekitar aliran sungai, penambahan ruang terbuka hijau dan taman yang berfungsi sebagai sebagai pengumpul air hujan (rainwater collecting/waterpark), seperti yang telah dilakukan, misalnya, di Kota Rotterdam, Belanda.
Kapasitas tata kelola perkotaan pun harus ditingkatkan ke level metropolitan governance yang mengedepankan kerja sama lintas administrasi di Jabodetabek dan pemerintah pusat.
Menurut Dani, meskipun hujan terus mengguyur Jakarta dan sekitarnya, justru ‘suasana’ terasa lebih ‘panas’.
“Para pengambil keputusan di pusat maupun Jakarta harus bisa menahan ego masing–masing untuk mendinginkan suasana. Harus terjalin kolaborasi yang kompak antara pemerintah pusat dan daerah, antardaerah dengan daerah, dan antarkelompok masyarakat, agar bencana banjir dapat teratasi dengan baik.”