Seusai dilantik untuk periode yang kedua, Presiden Joko Widodo menyampaikan gagasan untuk mengeluarkan omnibus law yakni undang-undang (UU) baru yang dapat merevisi sejumlah UU yang sudah ada selama ini.
Presiden Jokowi berencana mengeluarkan dua omnibus law, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Langkah tersebut diambil Presiden lantaran pada periode pertama kepemimpinannya masih dinilai gagal mewujudkan target pencapaian peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia. Tak ayal, negeri ini tetap terjerembab di posisi 40 besar dunia.
Laporan EoDB dari Bank Dunia, memang menyebutkan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara berpredikat Top Regulation Reform, karena secara konsisten telah berhasil memperbaiki peringkat EoDB dari peringkat 106 pada 2016, menjadi 91 (2017), hingga posisi 72 (2018). Namun, angka tersebut justru kembali menurun satu tingkat menjadi 73 pada 2019, bahkan stagnan pada posisi 73 berdasarkan hasil penilaian EoDB untuk 2020.
Oleh karena itu, Kepala Negara berharap dengan lahirnya beleid baru yang juga kerap disebut sebagai UU sapu jagad tersebut dapat memangkas sejumlah hambatan regulasi yang selama ini sering dikeluhkan oleh dunia usaha ketika hendak berinvestasi di Indonesia.
Pihaknya berharap kendala-kendala yang berkaitan dengan regulasi di Tanah air dapat dipangkas, yang pada ujungnya daya saing serta realisasi investasi di Tanah Air dapat meningkat signifikan.
Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), menilai positif langkah pemerintah yang berencana melakukan integrasi dan kodifikasi peraturan melalui omnibus law tersebut.
“Omnibus law ini ada 10 substansi, antara lain perizinan, kemudahan berusaha dan lain-lainnya. Untuk perizinan saja itu menyebar ke 70-an UU. Nah, dengan omnibus law kita hanya punya satu UU sapu jagad,” ujarnya kepada Bisnis.
Jadi, kata Robert, nantinya semua yang terkait dengan izin, mengacu pada UU sapu jagad tersebut. “Kemudian yang sektoral dengan sendirinya akan hilang untuk klausul yang terkait perizinan. Mungkin UU-nya tidak dicabut total, tetapi izinnya itu mengacu pada UU sapu jagad ini. Jadinya terintegrasi,” paparnya.
Selain itu, lanjut Robert, adanya omnibus law tersebut menjadi kesempatan negeri ini melakukan simplifikasi. Pasalnya, yang dilakukan tidak hanya memindahkan pengaturan dari UU sektoral ke UU omnibus law, tetapi juga kesempatan untuk simplifikasi atau rasionalisasi jumlah izin yang sangat banyak di kementerian dan lembaga saat ini.
“Simplifikasi dan integrasi ini menjadi kata kunci dan nantinya lebih pasti dalam buku besar UU omnibus law,” ujarnya.
Menurut Robert, arah besarnya adalah kepastian dan kemudahan berusaha yang hendak dicapai. Kepastian, kata dia, didapat melalui integrasi dan kodifikasi. Kemudian untuk kemudahan berusaha dapat diraih melalui simplifikasi atau rasionalisasi jumlah dan jenis izin yang ada saat ini.
Tinggal kemudian tantangannya adalah apakah kementerian lembaga punya komitmen dan dukungan yang kuat. Termasuk mereka apakah bisa atau tidak untuk memetakan seluruh izin-izin yang ada di sejumlah sektor tertentu itu. “Misalnya sektor pariwisata, selama ini izin-izin yang ada berapa dan di mana saja,” ujarnya.