Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berharap Taji Undang-Undang Sapu Jagat

Presiden Jokowi berencana mengeluarkan dua omnibus law, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan./Antara
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan./Antara

Memacu Perekonomian dengan Omnibus Law

Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas Slamet Soedarsono sebelumnya menjelaskan pembuatan omnibus law harus melalui sejumlah tahapan, yang dimulai dengan pemetaan.

“Misalnya mengenai ketenagakerjaan, UU mana yang terkait, kemudian UMKM UU mana yang terkait,” ujarnya belum lama ini.

Menurutnya, dengan pemetaan itu akan dapat diketahui aturan mana saja yang dianggap menghambat dan apa tindakannya. “Apakah perlu ada pengurangan pasal dan ayatnya, atau perlu ditambah, atau diubah redaksinya sehingga akan muncul rumusan-rumusan baru yang lebih sederhana dan lebih operasional,” ujarnya.

DORONG PERCEPATAN

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan meyakini bahwa penerbitan omnibus law bisa menjadi salah satu cara mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, salah satunya mengenai investasi.

“Kami akan submit omnibus law kepada parlemen untuk mengubah banyak UU saat ini yang tumpang tindih yang menghambat berbisnis di Indonesia,” kata Menko Luhut melalui keterangan resmi saat menjadi Pembicara pada acara The Straits Times Global Outlook Forum 2020 di The Ritz-Carlton, Millenia, Singapura, Jumat (21/11).

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Nur Solikhin mengatakan bahwa konsep UU sapu jagat masih relatif baru dalam diskursus perundang-undangan Indonesia dan belum pernah dipraktikkan. Istilah ini pun baru akrab di Indonesia beberapa tahun belakangan.

Namun, penggunaan UU sapu jagad untuk menyelesaikan kerumitan regulasi yang banyak dan tumpang tindih, bukanlah hal baru di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru.

“Cara yang mereka lakukan biasanya dengan menyusun satu UU sebagai UU sapu jagat untuk mengatur multisektor. UU sapu jagat dapat mengubah atau mencabut sejumlah UU lain yang bertentangan,” ujarnya, belum lama ini.

Menurutnya, karakteristik seperti itulah yang dipandang tepat diterapkan di negara yang kebanyakan regulasi atau hiperregulasi seperti di Indonesia. “Kualitas dan jumlah regulasi Indonesia saat ini memang bermasalah,” ujarnya.

Indeks kualitas regulasi, yang menunjukkan kemampuan pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan peraturan yang mendorong pengembangan sektor swasta, yang dikeluarkan Bank Dunia, menunjukkan bahwa skor Indonesia selalu di bawah nol atau minus dari 1996 hingga 2017.

Menurutnya, indeks terakhir pada 2017 menunjukkan angka -0,11. Sementara itu, indeks paling tinggi adalah 2,5 yang menunjukkan kualitas regulasi yang baik. Paling rendah -2,5 yang menunjukkan kualitas regulasi buruk.

“Di antara negara-negara di Asean, Indonesia masih berada di peringkat kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina,” ujarnya.

Selain kualitasnya yang buruk, lanjut Nur Solikhin, regulasi Indonesia juga terlalu banyak. Data PSHK menunjukkan produksi peraturan perundang-undangan masih tinggi. Selama 2014 sampai Oktober 2018, telah diterbitkan 107 UU, 452 peraturan pemerintah, 765 peraturan presiden dan 7.621 peraturan menteri.

Di samping itu, banyaknya regulasi tersebut diperparah dengan adanya peraturan yang tidak harmonis, tidak sejalan dengan kebijakan pembangunan, dan tidak adanya sistem pengawasan dan evaluasi yang baik.

Menurutnya, regulasi yang banyak dan tidak harmonis hadir akibat ego sektoral di setiap kementerian dan lembaga negara. Masing-masing menyusun peraturan tanpa ada komunikasi intensif untuk harmonisasi dan sinkronisasi.

Akibatnya, peraturan di tingkat teknis dibentuk sesuai keinginan tiap instansi. Kondisi yang sama juga terjadi dalam pelaksanaan program pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper