Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia dalam waktu dekat akan merespons tuduhan Uni Eropa perihal pelarangan ekspor bijih nikel.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan saat ini pemerintah sedang menyiapkan argumen bahwa kebijakan pelarangan ekspor tersebut tidak melanggar kesepakatan WTO.
“Nanti [prosedurnya], Uni Eropa akan konsultasi dengan kita. Ini kan belum gugatan, jadi mereka baru melakukan inisiasi awal, itu dilaporkan ke WTO. Bahwa mereka akan melakukan inisiasi terhadap pelarangan ekspor,” kata Wisnu, Senin (25/11/2019).
Dalam hal ini, Wisnu mengatakan, selain tuduhan dari Uni Eropa terkait dengan bijih nikel, Indonesia sedang menghadapi 7 kasus tuduhan antisubsidi yang terdiri dari dua kasus tuduhan dari Amerika Serikat terkait dengan produk biodiesel dan utility wind tower, dua kasus dari Uni Eropa terkait produk biodiesel dan hot rolled stainless steel sheet & coils, serta tiga kasus tuduhan dari India yaitu cast copper wire rods, flat stainless steel dan fiberboards.
Apabila ketujuh kasus ini dikenakan bea masuk antisubsidi (countervailing duty) maka estimasi nilai ekspor yang hilang minimal sebesar US$1,25 miliar/tahun.
Pada dasarnya, jelas Wisnu, WTO telah mengatur kebijakan subsidi secara detail dalam agreement on subsidies and countervailing measures (SCM).
Dia menjelaskan, subsidi diharamkan jika melibatkan kontribusi finansial dari pemerintah atau badan pemerintah negara pengekspor, adanya keuntungan dan diberikan secara spesifik/khusus untuk industri tertentu dan ada hubungan kausalitas dimana produk ekspor yang telah disubsidi dari negara tersebut terbukti merugikan industri domestik dari negara pengimpor.