Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan terkait Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, khususnya untuk WPP 715 Provinsi Maluku Utara, dinilai masih tumpang tindih. Pemerintah pusat perlu meninjau kembali kebijakan sebelum memberlakukannya di tingkat daerah.
Policy Advisor Pusat Transformasi Kebijakan Publik Abdul Halim mengatakan regulasi yang dibuat masih belum sejalan. Ada definisi yang tidak sinkron.
"Definisi nelayan kecil dalam tiap aturan berbeda-beda. Pada Undang-Undang 7/2016, nelayan kecil ukuran kapalnya kurang dari 10 gross tonnage [GT], sedangkan dalam UU 45/2009 itu kurang dari 5 GT," katanya, Selasa (19/11/2019).
Regulasi yang tidak sinkron ini dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terkait hak dan kewajiban nelayan kecil. "Hal ini berimplikasi negatif terhadap pola hubungan kelembagaan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten atau kota," ujarnya.
Ketidaksesuaian regulasi juga berpengaruh pada alokasi dana perimbangan yang disalurkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.
"Beberapa dampaknya, yaitu sasaran pembangunan di bidang perikanan yang disusun di tingkat provinsi tidak terlaksana, alokasi dana tidak terserap, dan pembangunan di bidang perikanan tangkap terkendala," paparnya.
Baca Juga
Alokasi dana yang tidak terserap merupakan dampak ketidakpastian hukum menyangkut peralihan kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, serta dukungan anggaran yang bersumber dari dana perimbangan.
Tidak hanya ukuran kapal, alat tangkap tradisional juga menjadi salah satu tolak ukur definisi nelayan kecil berdasarkan UU 23/2014.
Abdul menilai regulasi-regulasi yang berlawanan ini perlu ditinjau kembali. "Perbedaan definisi dalam tiga regulasi ini dapat berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan dan strategi pemberdayaan dan pengelolaan ikan," katanya.