9 Oktober 2019 menjadi momen penting bagi proyek pengembangan lapangan gas unitisasi Jambaran-Tiung Biru (JTB) di Desa Bandungrejo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. PT Pertamina EP Cepu (PEPC) memulai prosesi tajak sumur atau spud in di proyek yang bakal menjadi salah satu tulang punggung energi nasional tersebut.
Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Darmawan H. Samsu mengatakan proyek JTB yang dikelola oleh PEPC ini merupakan salah satu proyek strategis nasional (PSN) yang telah ditetapkan oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).
“Tajak ini merupakan milestone penting. Kebutuhan energi nasional terus meningkat dan harus diimbangi upaya menemukan cadangan baru dan diproses jadi produksi,” katanya.
Pengembangan proyek ini memiliki beberapa bagian, seperti pengembangan empat sumur di Jambaran East, dua sumur di Jambaran Central, pengerjaan pipa pengumpul sepanjang 6,6 km, pengerjaan fasilitas pemrosesan gas atau gas processing facility (GPF) berkapasitas 330 MMscfd, pengerjaan jalur pipa fluida yang tersambung dengan CPF Lapangan Banyu Urip, pengerjaan jalur pipa sales gas sepanjang 11,3 km, pembangunan stasiun pengukuran sales gas, dan pembangunan infrastruktur pendukung operasi seperti perkantoran, gudang, bengkel, rumah ibadah, dan perumahan.
“Kegiatan operasi pengeboran ini telah dimulai sejak September 2019. PEPC bekerja sama dengan Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI) dalam kegiatan ini,” tutur Jamsaton Nababan, Direktur Utama PEPC.
Pekerja tengah berada di lokasi tajak sumur proyek JTB./Dok. Pertamina
Dia menjelaskan pekerjaan dimulai dari tapak sumur Jambaran East yang meliputi tiga sumur pemboran baru, yaitu sumur JAM-3, JAM-5 dan JAM-8. Sementara itu, dua sumur lainnya terletak di tapak sumur Jambaran Central, yaitu Sumur JAM-6 dan JAM-7.
“Pekerjaan lainnya adalah mengerjakan re-entry satu sumur existing, yaitu sumur JAM-4 ST dengan melakukan completion dengan rangkaian pipa produksi yang tahan gas H2S,” tuturnya.
Adapun berdasarkan data dari SKK Migas, hingga kuartal III/2019 progres proyek JTB telah mencapai 37,72%, lebih tinggi 0,26% dari baseline.
Produksi sales gas yang akan dihasilkan oleh proyek JTB sebesar 192 MMscfd yang nantinya akan dialirkan melalui pipa transmisi Gresik-Semarang. Dengan cadangan gas JTB sebesar 2,5 triliun kaki kubik (Tcf), JTB diharapkan dapat memberikan multiplier effect, khususnya untuk mengatasi defisit pasokan gas di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pertamina pun optimistis PEPC yang sebelumnya telah menyumbang 25% produksi minyak mentah nasional melalui Lapangan Banyu Urip akan menunjukkan komitmen kerjanya dalam mengawal proyek JTB agar selesai sesuai target pada kuartal II/2021. Proyek JTB diproyeksikan akan meningkatkan pendapatan negara dari US$3,61 miliar selama kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC).
Proyek JTB./Dok. Pertamina
MATI SURI
Lapangan Tiung Biru ditemukan oleh PT Pertamina EP (PEP) pada awal 2010 melalui pengeboran eksplorasi lokasi Tiung Biru-1 yang masuk wilayah Area III Jawa Bagian Timur (Blok Gundih). Penemuan gas di struktur Tiung Biru setelah dievaluasi melalui kajian subsurface assessment ternyata masih dalam satu body dengan lapangan gas Jambaran yang ditemukan Mobil Cepu Ltd di Blok Cepu pada 2002.
Kedua penemuan itu berada pada struktur batuan karbonat (batu gamping) yang merupakan suatu continous reservoir dengan fluid contacts yang sama.
Dalam perjalanannya, pengembangan lapangan gas unitisasi JTB bukannya tanpa kendala. Pengembangan lapangan tersebut justru sempat mati suri dan terkatung-katung ketika ExxonMobil Cepu Limited masih menjadi mitra dalam proyek tersebut.
Keekonomian proyek menjadi masalah utama. Hal tersebut menyebabkan harga gas dari lapangan JTB menjadi tinggi, yakni mencapai US$8 per MMBtu di mulut sumur dengan eskalasi 2%.
Industri pupuk dan PT PLN (Persero) sebagai calon pembeli pun merasa keberatan. Masalah keekonomian itu akhirnya membuat proyek yang awalnya diharapkan bisa on stream pada 2019 tertunda.
Langkah berani pun diambil oleh pihak PEPC dengan mengambil alih pengelolaan lapangan gas JTB. Hasilnya berbuah manis, keekonomian proyek pun meningkat.
Awalnya, belanja modal (capital expenditure/capex) proyek tersebut mencapai US$2,056 miliar. Namun, efisiensi berhasil dilakukan PEPC dengan menekan capex hingga US$509 juta menjadi US$1,547 miliar.
Dengan demikian, harga gas dari JTB bisa diturunkan menjadi US$6,7 per MMBtu di mulut sumur. Setelah ditambah tol fee melalui pipa Semarang-Gresik, harganya menjadi US$7,6 per MMBtu, tetap lebih rendah dari harga di mulut sumur pada perhitungan awal.
"Setelah kami ambil alih, keekonomiannya naik sehingga proyek bisa jalan lagi, bahkan sangat lancar. Produksi sales gas juga bisa kami tingkatkan dari 172 MMscfd menjadi 192 MMscfd," tutur Jamsaton.
ENERGI BERSIH
Sebagai salah satu tulang punggung energi nasional, lapangan unitisasi JTB juga akan menunjang pengembangan energi bersih. Sebanyak 100 MMscfd akan dipasok ke PLN untuk mendukung proyek kelistrikan berupa pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU).
Ada dua PLTGU yang akan dipasok gasnya dari JTB, yakni PLTGU Jawa 3 di Gresik dan PLTGU Tambak Lorok di Semarang dengan kapasitas masing-masing 800 megawatt (MW) dan 799 MW.
Jamsaton mengatakan kemungkinan besar gas akan dialirkan terlebih dahulu ke PLTGU Tambak Lorok. Pasalnya, penyelesaian PLTGU Jawa 3 masih diragukan bisa berbarengan dengan selesainya proyek JTB.
PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) masih mencari mitra untuk membangun PLTGU Jawa 3. Sementara itu, proyek pengembangan JTB yang memiliki cadangan gas sebanyak 2,5 Tcf tersebut akan on stream pada kuartal II/2021.
"Gas dari sini kan memang diarahkan untuk yang [PLTGU] Jawa 3. Kalau pas kita on stream mereka belum siap [menyerap gas], bisa saja kita belokkan dulu gasnya ke [PLTGU] Tambak Lorok," katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai walaupun gas merupakan bahan bakar fosil, namun sifatnya jauh lebih baik digunakan sebagai energi pembangkitan dibandingkan batu bara. Pasalnya, energi yang dihasilkan bersih.
Meskipun begitu, dia mengungkapkan masih ada tantangan yang harus dihadapi dalam mendorong penggunaan gas untuk pembangkitan, yakni harganya yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan batu bara. Alhasil, dalam bauran energi nasional, gas memang masih tertinggal cukup jauh dibandingkan dengan batu bara.
"Lingkungan gas lebih baik, harga batu bara lebih murah," katanya.
Bauran Energi Nasional
Seperti diketahui, pemerintah tengah mendorong peningkatan bauran energi baru terbarukan menjadi 23% pada 2025. Selain itu, penggunaan gas pun terus digenjot karena tergolong energi yang bersih.
Kebutuhan gas untuk pembangkitan tersebut tentunya akan ditopang oleh berbagai proyek yang tengah berjalan saat ini, tak terkecuali lapangan unitisasi JTB.
Memang, masih ada sekitar 1,5 tahun lagi sebelum gas mengalir dari sana. Namun, dengan lancarnya proyek tersebut, ada harapan besar bahwa upaya untuk meningkatkan penggunaan energi bersih di Indonesia mendapat dukungan penuh dari Pertamina.