Bisnis.com, JAKARTA — Astra Infra, lini usaha infrastruktur PT Astra International Tbk. menargetkan proses akuisisi saham PT Lintas Marga Sedaya milik UEM Group Berhad bisa rampung sebelum tutup tahun ini. Astra Infra bakal menggandeng mitra dari Kanada dalam rencana akuisisi tersebut.
CEO Toll Road Business Group Astra Infra Krist Ade Sudiyono mengatakan saat ini pihaknya melalui PT Bhaskara Sedaya Utama (BUS) mengantongi 45 persen saham operator jalan tol Cikopo–Palimanan (Cipali) itu. Kepemilikan tersebut diperoleh melalui aksi akuisisi dari tiga pemegang saham pada 2017.
"Kami mau ambil 55 persen saham [milik UEM] bersama partner. Tahun ini pokoknya sudah bisa closing," ujarnya, Selasa (29/10/2019).
Sebelumnya, Canada Pension Plan Investment Board (CPPIB) sudah mengumumkan rencana akuisisi saham PT Lintas Marga Sedaya (LMS) dari tangan UEM pada September 2019.
Berdasarkan keterangan resmi CPPIB, akuisisi bersama saham LMS membuat porsi saham BUS naik menjadi 55 persen, sedangkan CPPIB mengempit 45 persen.
Transaksi jual beli saham diperkirakan rampung pada kuartal IV/2019. Transaksi akan bergantung pada syarat ketentuan yang disepakati dan juga persetujuan regulator.
Baca Juga
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) sudah melansir, akusisi saham pada perusahaan tol yang sudah beroperasi hanya membutuhkan pelaporan perubahan kepemilikan saham dari badan usaha jalan tol.
Bila transaksi akuisisi saham LMS rampung, portofolio Astra Infra pada aset jalan tol tidak berubah. Panjang jalan tol yang dimiliki Astra mencapai 350 kilometer.
Portofolio itu terdiri atas enam ruas tol, yaitu Tangerang—Merak, Cikopo—Palimanan, Kunciran—Serpong, Semarang—Solo, Jombang—Mojokerto, dan Surabaya—Mojokerto.
Krist menuturkan bahwa peningkatan kepemilikan saham akan memberi ruang kendali yang lebih luas bagi Grup Astra.
"Dengan advantage yang kami miliki, kami bisa melakukan integrasi operasi dan membawa keunggulan [operasional] ke situ [LMS]," katanya.
SELISIH TARIF TOL
Sementara itu, Kepala BPJT Danang Parikesit mengatkan bahwa diperlukan sebuah lembaga kliring (clearing house) yang akan menjembatani kepentingan pelayanan publik, kebutuhan kebijakan, dan investasi.
Danang berharap bila lembaga kliring bisa dibentuk tahun depan, penyesuaian tarif jalan tol bisa dilakukan. Namun, bila belum, maka tarif yang berlaku akan tetap sama seperti yang tertuang dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT).
Tugas lembaga kliring tersebut adalah menjamin fungsi kebijakan publik bisa tercapai, hubungan antara pemerintah dan masyarakat terkait dengan pentarifan jalan tol, serta hubungan pemerintah dan investor tetap terjaga.
Keberadaan lembaga tersebut pun memungkinkan dilakukannya subsidi silang tarif tol. Artinya, pengenaan tarif pada masyarakat bisa lebih mahal atau lebih murah dari yang tertuang di PPJT.
"Dengan regulasi saat ini, hal itu [subsidi silang tarif tol] belum bisa dilakukan. Namun, ke depannya akan mengarah ke sana. Harapan kami tahun depan lembaga itu sudah dibentuk," katanya di tempat terpisah.
Sebelumnya, tarif ruas tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) 2 yang tertuang dalam PPJT sebesar Rp1.700 per kilometer sangat kontras dengan tarif tol dalam kota yang hanya dikenai Rp200 per kilometer.
Danang menyebutkan bahwa ada ketimpangan tarif antara tol dalam kota dan penghubung ke luar kota. Alhasil, hal tersebut betolak belakang dengan tujuan kebijakan pemerintah.
Menurutnya, tarif tol dalam kota seharusnya lebih mahal agar masyarakat lebih memilih memanfaatkan moda transportasi umum dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Di sisi lain, tarif tol menuju luar kota harus lebih murah karena untuk mendorong arus logistik lebih lancar dan cepat antarkawasan.
"Sekarang ini kebijakan tarif itu fokusnya pada pengembalian investasi. Padahal struktur tarif itu seharusnya merefleksikan kebijakan-kebijakan ke depan," ujarnya.