Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah perlu menekan kesenjangan pendapatan dalam masyarakat untuk mencegah penurunan daya beli.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyatakan Indonesia tengah menghadapi masalah kesenjangan penghasilan. Alhasil pemusatan modal terjadi pada golongan tertentu, dikhawatikan akan memperbesar ekonomi oligarki.
"Oligarki ini yang harus diatasi," kata Aviliani di Bursa Efek Indonesia, Senin (7/10/2019).
Dia mengatakan, pemerintah sudah membaca permasalahan ini lewat kebijakan penguatan sumber daya manusia (SDM). Namun menurut Aviliani hal itu tak cukup jika tak dilengkapi dengan kepastian adanya pendapatan yang ideal dan mencegah kecemburuan sosial.
"Untuk pengeluaran level menengah ke bawah menurun, ke atas malah meningkat ini bahaya karena akan ada kesenjangan sosial tinggi," jelasnya.
Aviliani pun menilai selain SDM, penguatan usaha mikro kecil menengah (UMKM) juga perlu disegerakan. Utamanya untuk menjawab tantangan global dan domestik.
Baca Juga
"UMKM harus jadi satu kesatuan yang value chain dan jadi satu ekosistem karena ekosistem jadi satu kesatuan. Hanya supaya barang tersebut bisa laku di seluruh dunia, ini yang perlu jadi policy ke depan," pungkasnya.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menyatakan Indonesia saat ini memang menghadapi dua kesenjangan.
Pertama antar kelompok masyarakat. Kedua kesenjangan antar daerah. Oleh sebab itu dia mengusulkan pentingnya pemerintah memperkuat, dan mengembangkan pemberian akses ke likuiditas, akses modal, akses sumber daya manusia, akses pasar dan teknologi, kepada UMKM dan koperasi. Hal ini mengingat populasi UMKM di Indonesia sekitar 63 juta.
"Kalau ini diurus dengan baik, negara berpihak, terkait kesenjangan masyarakat, dapat kita persempit dan ini harus ditunjukkan dengan transformasi likuiditas," sambungnya.
Kedua, pentingnya transformasi pelaku ekonomi mengaitkan yang pelaku usaha besar dengan UMKM dalam konsep kerja sama koperasi.
Dia menilai dua jenis kesenjangan bisa diatasi melalui kebijakan yang bagus, untuk mendistribusikan akses kredit kepada usaha kredit mikro dan menengah.
Hal ini selaras dengan catatan Bisnis, berdasarkan data Analisis Uang Beredar Agustus 2019, dari Bank Indonesia, kredit perbankan melambat pada Agustus 2019.
Adapun penyaluran kredit tercatat Rp5.489,6 triliun tumbuh 8,6% (yoy) melambat dari bulan sebelumnya 9,7% (yoy). Secara umum, perlambatan pertumbuhan kredit terjadi pada semua jenis yakni modal kerja, investasi, dan konsumsi.
Meski demikian, kredit untuk UMKM meningkat 13,3% dibandingkan Juli 2019 sebesar 11,6%. Peningkatan ini terjadi pada kredit UMKM untuk modal kerja dan investasi.
Selain memperkuat kredit, solusi kedua kata Arif, melalui diplomasi perdagangan, yang mana dua akses pasar harus dilakukan. Dia menyatakan pemerintah harus memikirkan produksi yang dihasilkan dalam negeri oleh pelaku usaha dalam negeri, bukan hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk eskpor.
"Harus ada di mindset bukan hanya untuk kemudahan pasar bebas dan kemudahan impor. Tetapi perlindungan, proteksi terhadap pelaku usaha dalam negeri dulu," terangnya.
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sri Adiningsih mengatakan selama ini sudah banyak upaya pemerintah dalam menggenjot kinerja UMKM untuk pemerataan ekonomi. Hal ini tercermin dari berkurangnya rasio kemiskinan dalam 5 tahun terakhir.
"Ini sudah arah yang bagus ke depan. Diharapkan ketimpangan bisa menurun, kemiskinan menurun, dan pembuatan kebijakan melakukan penekanan dalam hal kerja sama," tutur Sri.