Bisnis.com, JAKARTA — PBB akan mulai menegosiasikan Konvensi Kerja Sama Perpajakan Global atau United Nations Framework Convention on International Tax Cooperation. Pakar menilai Konvensi Pajak Global dapat mengurangi kesenjangan ekonomi antara negara kaya dan miskin.
Wakil Direktur Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Meliana Lumbantoruan meyakini Konvensi Pajak Global Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan cara mengatasi berbagai ketidakadilan perpajakan yang kerap dialami negara-negara berkembang.
Meliana berpendapat, Konvensi Pajak Global PBB menjadi penting sebagai upaya mengatasi ketidaksetaraan ekonomi.
"Negara berkembang sering tidak kesulitan menegakkan hak perpajakan karena ada praktis penghindaran pajak," jelasnya dalam diskusi The PRAKARSA secara daring, Kamis (28/11/2024).
Oleh sebab itu, konvensi tersebut diyakini akan meningkat kebijakan pajak nasional masing-masing negara hingga menjadi alternatif yang lebih inklusif dari BEPS Framework yang diinisiasi OECD.
Sementara itu, Koordinator Perpajakan European Network on Debt and Development (Eurodad) Tove Maria Ryding menjelaskan bahwa sebenarnya konvensi pajak global sudah menjadi pembahasan hampir satu abad—sejak League of Nations atau cikal bakal PBB.
Baca Juga
Hanya saja, sambungnya, negosiasi tidak jalan ke mana-mana karena negara maju ingin mengatur pajak global sesuai kemauannya. Akhirnya, negara-negara berkembang hanya bisa ikuti aturan yang diterapkan negara maju.
Maria menjelaskan selama ini topik perdebatan antara negara maju dan berkembang adalah tentang pajak perusahaan multinasional. Di satu sisi, negara maju ingin perusahaan-perusahaan multinasional hanya bayar pajak di negara tempat kantor pusatnya berada.
Di sisi lain, negara berkembang ingin perusahaan multinasional membayar pajak di negara tempat aktivitas ekonominya dilakukan.
"Tentu itu karena banyak kantor pusat perusahaan-perusahaan multinasional tersebut ada di negara maju," kata Maria pada kesempatan yang sama.
Permasalahan kemudian berkembang usai muncul fenomena tax haven atau surga pajak. Akhirnya perusahaan multinasional banyak memindahkan kantor pusatnya ke negara-negara tax haven yang tidak atau bahkan sangat sedikit memungut pajak perusahaan/badan.
"Itulah mengapa banyak perusahaan multinasional mendapatkan tarif pajak yang sangat sedikit, sering kali kurang dari 1%," lanjut Maria.
Oleh sebab itu, dia menekankan bahwa Konvensi Pajak Global PBB harus menjadi momentum untuk perbaikan sistem yang lebih berkeadilan.
Mario mengatakan jika sistem perpajakan global masih seperti sekarang ini maka negara-negara berkembang akan terus kesulitan membiayai berbagai programnya dan terus bergantung kepada utang.
Sebagai informasi, dikutip dari situs PBB, persetujuan negosiasi pembahasan Pajak Global tersebut diambil dalam rapat sesi ke-79 Majelis Umum PBB pada Rabu (27/11/2024).
Saat itu, delegasi dari Nigeria yang mewakili Grup Afrika mengusulkan draf berjudul “Promosi kerja sama pajak internasional yang inklusif dan efektif di Perserikatan Bangsa-Bangsa.” Komite Kedua PBB (Ekonomi dan Finansial) menyetujuinya draf usulan dari Nigeria tersebut.
Dalam proses jajak pendapat, tercatat sebanyak 125 negara mendukung, 9 negara menentang (Argentina, Australia, Kanada, Israel, Jepang, Selandia Baru, Republik Korea, Inggris, Amerika Serikat), dan 46 negara abstain.
Dalam draf tersebut, disetujui komite negosiasi antarnegara akan bertemu pada 2025, 2026, dan 2027 untuk membahas konvensi kerja sama perpajakan global selama paling sedikit tiga kali.
Pertemuan pertama akan diadakan di New York pada 3—6 Februari 2025. Nantinya, komite antarnegara PBB tersebut akan menyusun draf Konvensi Kerja Sama Perpajakan Global PBB.
Sebelumnya, PBB menegaskan Konvensi Kerja Sama Perpajakan Global bertujuan untuk membantu negara-negara di seluruh dunia meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara.
Wakil Sekretaris Jenderal untuk Pembangunan Ekonomi dan Sosial PBB Junhua Li menyatakan konvensi tersebut akan memastikan perusahaan multinasional raksasa membayar pajak secara adil, terlepas dari lokasi operasi mereka.
Dengan demikian, semua negara tanpa terkecuali dapat mendapatkan penerimaan pajak yang signifikan bagi banyak negara terutama negara-negara berkembang.
"Mata pencaharian dan masa depan miliaran orang bergantung pada kemampuan pemerintah untuk membiayai infrastruktur dasar, pendidikan, layanan kesehatan, dan aksi iklim," kata Li pada Agustus lalu, dilansir dari situs PBB.