Bisnis.com, SOLO - Karut marut pengelolaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjadi salah satu penyebab temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kekurangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp223,46 miliar dan US$20,81 juta.
Dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTTT) yang dirangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1/2019, lembaga auditor negara tersebut memaparkan tiga aspek terjadinya kekurangan penerimaan.
Pertama, iuran tetap, royalti, dan Dana Hasil Produksi Batu Bara (DHPB), beserta dendanya yang kurang dibayar oleh 23 perusahaan pertambangan.
Kedua, perhitungan PNBP Penggunaan Kawasan Hutan yang tidak tepat karena adanya perbedaan luasan dan kriteria baseline yang menjadi dasar perhitungan.
Ketiga, 6 perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan di kawasan hutan yang berada di luar wilayah konsesi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara dan belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
BPK sendiri saat ini tengah merampungkan laporan tentang karut marut pengelolaan hutan termasuk diantaranya yang diserobot oleh perusahaan tambang dan bartu bara.
"Laporannya masih dalam tahap finalisasi. Jadi belum masuk di sini," ungkap Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara belum lama ini.
Adapun BPK beranggapan bahwa adanya potensi kekurangan penerimaan tersebut merupakan imbas dari ketidakjelasan pengelolaan IUP. IUP pada Minerba One Map Indonesia (MOMI) misalnya tidak lengkap dan akurat.
Ketidakakuratan tersebut di antaranya belum mencakup informasi yang komprehensif yaitu informasi mengenai lokasi tambang, alamat perusahaan, nomor Surat Keputusan (SK), tanggal berlaku SK dan status IUP.
Selain itu, proses peralihan kewenangan dari pemerintah kabupaten atau kota ke pemerintah provinsi juga kurang berjalan lancar karena penyerahan data IUP dari pemerintah kabupaten kota ke pemerintah provinsi belum seluruhnya dilengkapi dokumen pendukung.
Kondisi tersebut, lanjut BPK, menyebabkan adanya potensi IUP yang tidak termonitor kegiatannya dan kurang tepatnya pengambilan keputusan oleh pihak berwenang karena tidak didukung dengan basis data yang akurat.
BPK juga mencatat, pengelolaan IUP belum optimal. Hal tersebut ditunjukkan dengan permasalahan tumpang tindih wilayah antarkonsensi/IUP dengan status Clear and Clean (CnC) sebanyak 182 IUP, masa berlaku 4.444 IUP telah berakhir namun masih tercatat sebagai IUP aktif, dan penerbitan 196 sertifikat CnC tidak sesuai dengan ketentuan karena diberikan kepada perusahaan yang masih memiliki piutang iuran tetap dan royalti yang outstanding.
Tak hanya itu, BPK menyebut masih terdapat IUP yang sudah diblokir namun masih mendapat pelayanan perizinan atau melakukan pembayaran royalti dan iuran tetap.