Bisnis.com, JAKARTA — Antisipasi jebolnya kuota subsidi bahan bakar minyak jenis solar telah dilakukan. Badan Penyalur Hilir Migas (BPH Migas) meminta kendaraan pengangkut barang mengalah untuk tidak mengkonsumsi produk tersebut.
Komite BPH Migas Henry Ahmad mengatakan pengawasan yang dilakukan BPH Migas sudah merujuk Peraturan Presiden No. 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
“Ada yang menganggap [kendaraan yang berhak mengkonsumsi BBM berusubdisi] itu daerah abu-abu. SPBU Pertamina juga tidak tegas untuk menolaknya. Kami, sih, terbuka saja, kalau ada yang protes masalah pelarangan,” tuturnya, ketika dihubungi Bisnis.com, Sabtu (21/9/2019).
Sebelumnya, kalangan pelaku usaha logistik angkat suara atas adanya pengendalian kuota jenis bahan bakar minyak tertentu (solar) yang tertuang dalam Surat Edaran Badan Pengatur Migas No. 3865.E/Ka.BPH/2019.
Wakil Ketua Umum (WKU) Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan Rico Rustombi beranggapan keluarnya surat edaran yang dirilis 29 Agustus 2019 itu menimbulkan kebingungan lantaran bertentangan dengan Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014 yang telah diubah menjadi Perpres No 43 Tahun 2018.
“Menurut Perpres tersebut, angkutan umum dengan tanda nomor kendaraan berwarna dasar kuning dan tulisan berwarna hitam termasuk dalam golongan yang mendapatkan alokasi BBM Solar bersubsidi,” katanya dalam pernyataan tertulis.
Jika merujuk lampiran konsumen pengguna dan titik serah bahan bakar minyak tertentu Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014, kendaraan bermotor umum di jalan untuk angkutan orang atau barang dengan tanda nomor kendaraan berwarna dasar kuning dengan tulisan hitam diperbolehkan menenggak solar, kecuali mobil barang untuk pengangkutan hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari 6 (enam) buah.
Dalam Surat Edaran No. 3865.E/Ka.BPH/2019 dijelaskan kendaraan kendaraan bermotor untuk pengangkutan hasil perkebunan, kehutanan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari 6 (enam) buah dalam kondisi bermuatan ataupun tidak bermuatan dilarang menggunakan solar bersubdisi.
Selain itu, pelarangan penggunaan BBM bersubdisi diarahkan juga untuk mobil tangki BBM, CPO, dump truck, truck trailer, truk gandeng dan mobil molen (pengaduk semen).
Henry menambahkan daripada mengorbankan kepentingan masyarakat, lebih baik pengusaha logistik menggunakan BBM industri. Dia menekankan kendaraan proyek tidak diperkenankan menggunakan solar bersubisi.
“Yang tidak boleh menggunakan BBM bersubdisi itu kendaraan industri, pelat merah,” tambahnya.
Sebelumnya, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa menjelaskan setidaknya ada 10 Provinsi yang mengalami konsumsi di atas kuota yang ditetapkan. Diantara 10 Provinsi tersebut patut diduga ada penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan.
Misalnya saja, Kalimantan Timur sebesar 124,6 persen rerata per bulannya, diikuti Kepulauan Riau sebesar 119,9 persen, Lampung 113 persen, Riau 111 persen, Sulawesi Tenggara 109,4 persen, Sulawesi Barat 109,2 persen, Sumatra Barat 108,8 persen, Sulawesi Selatan 108,8 persen, Jawa Timur 108,7 persen, serta Bangka Belitung 108,3 persen.
Tahun ini, berdasarkan Nota Keuangan APBN 2019, volume JBT ditetapkan sebesar 15,11 juta KL, yang terdiri dari Solar sebesar 14,5 juta KL dan minyak tanah sebesar 610.000 KL. Volume kuota JBT tahun ini lebih kecil dibandingkan dengan kuota 2018 sebesar 15,62 juta KL.