Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Tantangan Besar Memacu Ekspor Lada Indonesia

Persoalan tekanan harga global serta kurangnya upaya penghiliran industri komoditas lada ditengarai sebagai penyebab belum maksimalnya kinerja ekspor komoditas rempah tersebut.
Petani memperlihatka biji lada yang sudah dipanen di Desa Batu Pannu, Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (14/12/2018)./ANTARA-Akbar Tado
Petani memperlihatka biji lada yang sudah dipanen di Desa Batu Pannu, Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (14/12/2018)./ANTARA-Akbar Tado

Bisnis.com, JAKARTA — Persoalan tekanan harga global serta kurangnya upaya penghiliran industri komoditas lada ditengarai sebagai penyebab belum maksimalnya kinerja ekspor komoditas rempah tersebut.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, volume ekspor lada Indonesia sepanjang Januari—Juli 2019 mencapai 27,16 ton dengan nilai US$75,54 juta, turun dari capaian pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 22,85 ton dengan nilai US$79,89 juta. 

Adapun, sepanjang 2018, total nilai ekspor lada mencapai US$152,47 juta dengan volume sebanyak 47,62 ton, turun dari capaian tahun sebelumnya sebanyak 42,69 ton dengan nilai US$235,96 juta. 

Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional Kementerian Perdagangan Arlinda mengatakan komoditas lada dari tahun ke tahun memang tertekan oleh persoalan rendahnya harga sehingga sangat berpengaruh pada pendapatan petani dan sektor ekonomi secara keseluruhan.

Pada 2016, harga lada putih dan lada hitam pernah mencapai Rp157.000 per kikogram dan Rp121.000 per kilogram untuk lada hitam. Saat ini, harganya Rp37.000 per kilogram untuk lada putih dan Rp22.000 per kilogram untuk lada hitam.

"Persoalan yang terjadi ini suplai dunia jauh lebih besar dari konsumsi. Produksi meningkat sejak 2013 hingga kini [pertumbuhan produksi lada mencapai] 7% hingga 8% [per tahun], tetapi [pertumbuhan] konsumsinya hanya meningkat hingga 3% [per tahun]," ujarnya Selasa (17/9/2019). 

Menurutnya, untuk mengatasi permasalah kelebihan suplai lada, Indonesia harus mencari pasar-pasar ekspor nontradisional seperti Bangladesh, Tunisia, Paskitan, Uni Emirat Arab, Maroko, dan Selandia Baru. 

"Di Auckland, mereka bilang suka dengan lada dari Indonesia dan mereka ambil langsung dari Papua," katanya.

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ekspor lada adalah melalui penghiliran komoditas tersebut. Pasalnya, sebut Arlinda, meski merupakan negara pengekspor lada, Indonesia juga mengimpor komoditas pedas itu.

Sepanjang Januari hingga Juli tahun ini, jumlah impor lada Indonesia mencapai 533 ton dengan nilai US$1,62 juta.  Sepanjang tahun lalu, jumlah impor lada Indonesia mencapai 844 ton dengan nilai US$3,7 juta, naik secara volume dari 2017 yang sebanyak 762 ton dengan nilai US$4,22 ton. 

"Jadi ini memang patut dipertanyakan, di satu sisi Indonesia menjadi pengekspor lada, salah satunya ke Vietnam dan Belanda. Namun, di sisi lain, Indonesia juga mengimpor lada dari kedua negara itu. Apakah Indonesia ekspor lada dalam bentuk biji atau bahan baku lalu diperhalus di negara itu sehingga kita mengimpornya?" ucapnya. 

Arlinda juga menggarisbawahi pentingnya penguatan kelembagaan atau inovasi-inovasi diversifikasi produk berbasis lada yang dapat diproduksi di Indonesia.

"Kami terus berupaya melakukan pendampingan para petani untuk melakukan diversfikasi produk dan meningkatkan kualitas produk  lada. Selama ini Indonesia banyak melakukan ekspor butiran besar. Kami berharap temen-temen perindustrian dapat membantu agar produk lada bernilai tinggi."

Selain itu, Airlanda juga mendorong International Pepper Community (IPC) untuk dapat mengatur harga lada terlebih 73% lada yang ada diproduksi di dunia ini berasal dari negara-negara tergabung dalam IPC. 

SKEMA KHUSUS

Kepala Subdirektorat Organisasi Komoditas Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Flora Susan mengatakan hingga kini belum ada skema khusus pengaturan suplai lada secara internasional.

"Kami tengah meminta negara Vietnam untuk memiliki suatu skema pengaturan manajemen suplai lada.  Hal itu dikarenakan produksi terbesar ada di Vietnam," ujarnya.

Adapun, Direktur Pengembangan Produk Ekspor, Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan Ari Satria mengatakan nilai ekspor lada terus menerus mengalami penurunan meski secara volume ekspor lada Indonesia mengalami peningkatan.

"Jadi, dari sisi volume, ekspor lada Indonesia terus bertambah tetapi dari sisi nilai mengalami penurunan. Ini akibat persoalan harga lada yang fluktuatif. Saya kira pada tahun ini nilai ekspor lada akan lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu meski volume ladanya naik," tuturnya 

Harga yang berfluktuasi ini menjadi tugas bersama diselesaikan bersama dengan IPC, organisasi negara produsen lada. Saat ini IPC terdiri dari 5 negara yaitu Indonesia, India, Vietnam, Malaysia, dan Sri Lanka.  

"IPC coba membahas bagaimana meng-create demand lada ini. Tidak hanya sebagai bumbu masak. Hilirisasi produk sebuah keharusan. Sudah ada program Kemendes di Bangka agar lada diolah menjadi serbuk lada halus tidak hanya biji saja," katanya. 

Kepala Subdirektorat Lada, Pala, dan Cengkih Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Galih Surti Solihin mengatakan pada tahun lalu jumlah wilayah lada di Indonesia mencapai 187 hektare, hanya sedikit pertambahannya dari 2010 yang seluas 179,32 hektare.

Lalu, jumlah produksi lada sepanjang tahun lalu mencapai 88.720 ton, hanya naik sedikit dari 2010 yang mencapai 83.660 ton. 

 "Produktivitas lada ini terus menurun sejak 2014 hingga 2018 dimana 2018 produktivitas lada mencapai 802 kilogram per hektare. Di 2014, produktivitas lada mencapai 921 kilogram per hektare. Kami terus berupaya untuk meningkatkan produktivitas lada karena tergantung musim panen," tuturnya.

Tantangan tanaman lada saat ini sebagian besar sudah tua sehingga perlu peremajaan serta ketersediaan bibit unggul lada. Pihaknya mendorong adanya korporasi petani untuk menguatkan kelembagaan petani lada.

"Kelembagaan ekonomi juga tak dapat dilepaskan. Kami ingin petani-petani membentuk kelompok. Dari kelompok tani menjadi gapoktan, dari gapoktan menjadi koperasi, sehingga bargaining position lebih tinggi. Harus lebih jeli apa yang dikerjasamakan," terangnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper