Bisnis.com, JAKARTA -- Perdana Menteri China Li Keqiang mengakui sulit bagi negaranya untuk membukukan pertumbuhan ekonomi di level 6 persen di tengah kondisi internasional saat ini.
Selain itu, ekonomi China sudah tumbuh tinggi pada tahun-tahun sebelumnya sehingga tak mudah untuk mencatatkan kinerja yang sama.
"Sulit bagi China untuk mempertahankan pertumbuhan di posisi 6 persen atau lebih di tengah situasi internasional yang sangat rumit saat ini dan karena dasar pertumbuhan yang memang relatif sudah tinggi, dan tingkat pertumbuhan ini menjadi yang tertinggi di antara ekonomi-ekonomi besar dunia," paparnya seperti dikutip Reuters dari laman resmi Pemerintah China, gov.cn, Senin (16/9/2019).
Li menerangkan negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia itu menghadapi tekanan tertentu sejalan dengan melambatnya perekonomian global. Dia juga menyampaikan meningkatnya paham proteksionisme dan unilateralisme turut menjadi faktor lain.
Meski demikian, Li menyatakan performa ekonomi Negeri Panda terbilang stabil selama delapan bulan pertama 2019.
Beijing telah berupaya meningkatkan likuiditas demi mendorong pertumbuhan. Salah satunya adalah memangkas Reserve Requirement Ratio (RRR) alias rasio cadangan wajib untuk ketiga kalinya pada Jumat (6/9), yang berujung pada mengalirnya likuiditas senilai 900 miliar yuan ke pasar.
Baca Juga
PDB China meningkat 6,3 persen pada semester I/2019. Namun, jika dilihat lebih rinci, pertumbuhan pada kuartal II/2019 hanya 6,2 persen atau nyaris menjadi yang terendah dalam 30 tahun.
Analis memperkirakan realisasinya bakal kembali turun dalam kuartal-kuartal selanjutnya. Morgan Stanley bahkan memprediksi angka pertumbuhan ekonomi tahun ini akan ada di batas bawah target pemerintah, yang antara 6-6,5 persen.
China pun tengah menghadapi sengketa dagang dengan AS sejak tahun lalu, di mana kedua negara terlibat aksi saling balas tarif impor. Negosiasi perdagangan antara kedua berjalan maju mundur dan belum berhasil mencapai kesepakatan apapun.
Perang dagang juga makin kompleks setelah merembet ke bisnis perusahaan swasta China yang dituding melakukan pencurian hak kekayaan intelektual dan terlibat aksi spionase untuk Pemerintah China oleh Washington.