Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian ESDM mengatakan hingga saat ini belum ada rencana untuk mempercepat pelarangan ekspor pada mineral lain selain nikel yang keran ekspornya akan ditutup mulai 2020.
Adapun Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan selain nikel, pemerintah juga membuka peluang percepatan penghiliran melalui penghentian ekspor mineral mentah lainnya, termasuk bauksit. Menurutnya hal tersebut akan mendukung pengembangan industri dalam negeri.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan selama belum ada regulasi pelarangan ekspor mineral mentah yang lain pihaknya tidak ingin berandai-andai. Hingga saat ini, mineral mentah yang larangan ekspornya dipercepat adalah bijih nikel berkadar rendah.
"Saya belum tahu, malah saya baru dengar. Sampai sekarang pelarangan ekspor yang ada baru nikel, sementara yang lain belum dengar. Belum ada bahasan dengan kami, belum ada rapat," katanya kepada Bisnis, Kamis (12/9/2019).
Yunus menambahkan dengan dimulainya larangan ekspor bijih nikel kadar rendah, Indonesia sudah bisa memproduksi baterai untuk kendaraan listrik pada 2024. Setidaknya, sudah ada empat smelter nikel proyek besar industri prekursor yang akan memproduksi bahan baku baterai.
Pertama, smelter Hauyue Bahadopi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dengan kapasitas Input 11 juta ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 60.000 ton Ni per tahun dan 7.800 ton kobalt. Proyek yang dimiliki PT Huayue Nikel Cobalt ini memiliki nilai investasi US$1,28 miliar dengan pembangunan mulai Januari 2020 sampai Januari 2021.
Kedua, smelter QMB Bahodopi di Morowali, Sulawesi Tengah, dengan kapasitas input 5 juta ton bijih nikel per tahun serta kapasitas output 50.000 ton Ni per tahun dan 4.000 ton kobalt. Proyek yang dimiliki PT QMB New Energy Material ini memiliki nilai investasi US$998,47 juta.
Ketiga, smelter PT Harita Prima Abadi Mineral (HPAM) dengan kapasitas input 8,3 juta wet ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 278.534 ton dalam bentuk mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel sulfat, dan kobalt sulfat. Nilai investasi proyek ini mencapai US$10,61 miliar.
Terakhir, smelter PT Smelter Nikel Indonesia dengan kapasitas input 2,4 juta wet ton bijih nikel per tahun dan kapasitas output 76.500 ton dalam bentuk MHP, nikel sulfat, dan kobalt sulfat.
Dengan beroperasinya smelter tersebut, pada 2021 akan dibutuhkan bijih nikel kadar rendah sebanyak 27.000 ton. Kondisi ini sejalan dengan target penggunaan kendaraan listrik sebesar 20 persen pada 2025.