Bisnis.com, JAKARTA — "Kalau tidak ada halangan, minggu depan kami bisa lakukan paripurna." Kalimat itu meluncur dari Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Fary Djemi Francis, Senin (26/8/2019) seusai rapat kerja dengan perwakilan pemerintah terkait dengan pembahasan tingkat pertama Rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Air (RUU SDA).
Ucapan Fary memang menjadi kenyataan. Sepekan berselang, Selasa (3/9), Rapat Paripurna ke-6 masa persidangan I Tahun Sidang 2019—2020 digelar. Salah satu agenda Rapat Paripurna adalah pembahasan tingkat kedua dan pengambilan keputusan terhadap RUU SDA.
Selain agenda terkait dengan RUU SDA, Rapat Paripurna juga membahas tiga agenda lain, yaitu pengesahan RUU tentang Pekerja Sosial menjadi Undang-Undang; penyampaian pendapat fraksi terkait usulan Badan Legislatif DPR tentang Perubahan atas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan persetujuan pertimbangan kewarganegaraan untuk Otavio Dutra menjadi warga negara Indonesia.
Ketiga agenda tersebut mengalir tanpa hambatan. Tak dinyana, pembahasan RUU SDA malah pampat.
“Karena persoalan teknis, Rapat Paripurana menunda pembahasan lanjutan tingkat kedua RUU SDA,” ujar Wakil Ketua DPR Utut Adianto yang disertai ketukan palu.
Gejala penundaan RUU SDA sudah tercium sejak di meja absensi. Di muka pintu ruang Rapat Paripurna, tidak ada draf RUU SDA. Padahal, draf RUU Pekerja Sosial yang juga masuk agenda pembahasan tingkat kedua, tersedia di meja.
Baca Juga
Rapat Paripurna yang digelar pun terbilang sepi dengan kursi kosong melompong. Berdasarkan perhitungan kepala atau headcount, ada 82 orang anggota DPR yang menghadiri sidang.
Utut yang menjadi pimpinan sidang mempunyai hitungan lain. Dia mengklaim bahwa ada 286 dari 560 anggota DPR yang hadir dalam rapat. Klaim itu berasal dari absensi Sekretariat Jenderal DPR.
Seusai sidang, Fary menjelaskan bahwa penundaaan pembahasan tingkat kedua RUU SDA disebabkan adanya usulan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumber daya air di permukaan dan cekungan air dalam.
Oleh karena itu, Komisi V perlu melakukan sinkronisasi terhadap usulan pemerintah tersebut.
Dia menerangkan bahwa pengaturan air permukaan selama ini berada di Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat (PUPR), sedangkan cekungan air dalam menjadi ranah Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pengaturan ini akan diatur lebih diperinci dalam produk hukum turunan undang-undang.
"Pengaturan itu ada di PP [peraturan pemerintah], tapi pemerintah mau itu dibunyikan saja di dalam undang-undang," jelasnya.
Dia menjamin bahwa pembahasan usulan tersebut tidak akan memakan waktu lama.
Menurut Fary, hanya perlu rapat konsultasi dengan menteri untuk membahas usulan pengaturan air permukaan dan cekungan air dalam.
Penyusunan RUU SDA memang sudah mendekati garis akhir. Panitia Kerja RUU SDA telah menyusun rancangan berisi 16 bab dan 79 pasal.
Penyusunan dan pembahasan RUU tersebut sudah berjalan hampir 5 tahun. Undang-Undang tentang SDA perlu dibuat kembali setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA.
Di sisi lain, tidak banyak waktu lagi bagi legislator untuk bersidang mengingat masa bakti anggota DPR periode 2014—2019 tinggal terisa kurang dari 2 bulan. Maka, keran regulasi sumber daya air seyogyanya tak boleh lagi pampat.