Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri ritel segmen fesyen didesak segera melakukan pembaruan pola bisnis agar tak mengikuti jejak Forever 21 Inc. yang berakhir pailit akhibat gagal bertransformasi menghadapi perubahan perilaku konsumen.
Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah menjelaskan, bangkrutnya peritel fesyen raksasa asal Amerika Serikat itu disebabkan oleh keterlambatan mengembangkan platform belanja daring dibandingkan dengan kompetitornya.
“Mereka terlambat melakukan shifting,” katanya, Kamis (29/8).
Selama ini, Forever 21 lebih banyak mengandalkan penjualan dari 815 gerainya yang tersebar di seluruh dunia. Biaya operasional yang tinggi dari keseluruhan gerai tersebut disinyalir menjadi penyebab Forever 21 terlilit hutang dan akhirnya mempertimbangkan pengajuan pailit.
“Selain itu, di AS peritel juga harus menghadapi gempuran platform e-commerce seperti Amazon yang menawarkan produk dengan kualitas yang sama dan harganya jauh lebih murah,” papar Budiharjo.
Bagaimanapun, dia menegaskan apa yang terjadi pada Forever 21 tidak serta merta menandakan bahwa industri ritel fesyen di Tanah Air menuju ambang kejatuhan. Sebaliknya, kondisi di Indonesia masih mendukung prospek bisnis ritel segmen fesyen.
Baca Juga
“Secara umum masih stabil, walaupun mengalami penurunan. Forever 21 belum tentu akan menutup tokonya di Indonesia? Kalau di AS mungkin saja banyak yang ditutup. Contoh sederhananya Payless yang dikabarkan bangkrut, di Indonesia tokonya apa ikut tutup?”
Forever 21 memiliki tiga gerai di Indonesia yang berada di pusat perbelanjaan papan atas di Jakarta, yakni Grand Indonesia Mall, Mall Taman Anggrek, dan Lippo Mall Puri. Ketiga gerai tersebut dikelola oleh PT Fashion Studio Indonesia, anak usaha Sharaf Group yang berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab.
Gerai yang berada di Grand Indonesia Mall dan Lippo Mall Puri diketahui telah mengalami perampingan luas pada tahun lalu.
Sekadar catatan, Forever 21 Inc. bersiap mengajukan pailit akibat kesulitan keuangan. Mengutip Bloomberg, Kamis (29/8), perusahaan telah melakukan pembicaraan untuk mencari pembiayaan tambahan dan bekerja dengan tim penasihat dalam upaya restrukturisasi utang, tetapi gagal.