Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah untuk menaikkan biaya iuran BPJS Kesehatan dianggap menjadi solusi yang tepat untuk menutup defisit.
Timboel Siregar selaku Kepala bidang Advokasi BPJS Watch mengatakan rencana pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan menjadi dua kali lipat memang harus dilakukan. Namun, adanya kenaikan iuran bagi peserta mandiri yang besar juga akan menjadi kontraproduktif.
“Kenaikan yang besar tersebut akan menciptakan kenaikan utang iuran. Faktanya per 30 Juni 2019 dari total peserta mandiri sekitar 32 juta, yang aktif 50.9% dan yang tidak aktif 49.1%. Apalagi kalau dinaikkan maka akan terjadi peningkatan utang iuran (non aktif) yang cukup besar,” kata Timboel, Kamis (29/8/2019).
Menurutnya, pemerintah perlu meninjau ulang kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan memperhatikan aspek kemamapuan daya beli masyarakat. “Pemerintah harus meningkatkan pelayanan dulu baru meningkatkan iuran yang besar.”
Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan ini besaran biaya iuran saat ini belum sesuai perhitungan.
“Keputusan untuk menyesuaikan tentu kewenangan pemerintah, karena memang besaran iuran selama ini belum sesuai perhitungan aktuaria. Kalau gak disesuaikan, biaya untuk bayar darimana ? Karena selama ini iuran yang ada belum mencukupi,” kata Iqbal kepada Bisnis, Kamis (29/8/2019).
Baca Juga
Dalam hal ini, Iqbal mengatakan semua segmen peserta BPJS Kesehatan sebetulnya sudah cukup patuh untuk membayar iuran. Hanya saja, untuk segmen PBPU atau Mandiri, masih jauh dibawah target Kementerian Keuangan.
Dari 32.588.888 peserta BPJS Kesehatan segmen PBPU atau Mandiri, hanya 54% yang patuh untuk membayar iuran. Sedangkan sisanya, masih menunggak iuran tersebut.
“Iya [46% masih nunggak].”