Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menargetkan seluruh anggotanya telah bersertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) pada 2020 mendatang.
Komitmen capaian sertifikasi sawit berkelanjutan ini diharapkan dapat memperkuat keberterimaan ISPO di level internasional.
"Deklarasi komitmen ini penting karena sawit kita tengah menghadapi tekanan tekanan geopolitik dari Uni Eropa, dan kalau kita cermati ini mengancam pasar sawit kita di sana. Selain itu, belum 100 persen anggota Gapki memperoleh serifikat ISPO," kata Ketua Umum Gapki Joko Supriyono saat melakukan deklarasi mendukung sertifikasi ISPO di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Berdasarkan data yang dihimpun Gapki, dari total 502 sertifikat ISPO yang telah terbit sampai Maret lalu, 335 di antaranya diterima oleh anggota Gapki. Total perusahaan yang tergabung dalam asosiasi ini sendiri tercatat berjumlah 725.
"Dari 502 sertifikat ISPO yang terbit sampai Maret, 67 persen di antaranya diperoleh oleh anggota Gapki. Tapi itu sendiri belum seluruh anggota Gapki," ujar Joko.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang menyebutkan anggota Gapki memang belum mencakup 50 persen dari total perusahaan sawit yang ia perkirakan mencapai 1.600 entitas. Namun ia memastikan komitmen tersebut adalah upaya anggota Gapki untuk menjamin praktik sawit keberlanjutan.
Di sisi lain, Togar juga memberi catatan terkait keberterimaan sertifikat ISPO yang ia sebut lebih rendah dibanding sertifikasi Roundtable on Sustainble Palm Oil (RSPO).
Hal ini tak lepas dari fakta bahwa sertifikasi ISPO hanya menjamin status berkelanjutan pada sawit sampai tingkat minyak mentah (CPO), belum sampai ke produk turunan lain dan rantai pasoknya.
"Keberterimaan kita susah. Hanya sebatas 20 persen produk ekspor yang berbentuk CPO. Sementara 80 persen ekspor dalam bentuk refined itu tidak tersertifikasi ISPO kalau kita belum susun supply chain-nya," terang Togar.
"Beda dengan RSPO, sertifikasi itu bisa klaim kalau minyak goreng mereka bersertifikasi RSPO, sementara ISPO tidak bisa. Padahal sebagian besar yang kita ekspor dalam bentuk itu," sambungnya.