Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Benarkah Lesunya Kinerja Penerimaan Pajak Dipicu Faktor Ekonomi Semata?

Shortfall atau selisih antara realisasi dan target penerimaan pajak yang diproyeksikan sebesar Rp140,4 triliun merupakan implikasi dari kinerja pemungutan pajak yang belum optimal.
Sejumlah wajib pajak antre untuk melakukan pelaporan SPT Pajak Tahunan di Kantor KPP Pratama Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jum'at (22/2/2019)./ANTARA-Indrianto Eko Suwarso
Sejumlah wajib pajak antre untuk melakukan pelaporan SPT Pajak Tahunan di Kantor KPP Pratama Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jum'at (22/2/2019)./ANTARA-Indrianto Eko Suwarso

Bisnis.com, JAKARTA – Shortfall atau selisih antara realisasi dan target penerimaan pajak yang diproyeksikan sebesar Rp140,4 triliun merupakan implikasi dari kinerja pemungutan pajak yang belum optimal.

Hal itu terefleksikan melalui kinerja elastisitas antara pertumbuhan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi (tax buoyancy) yang masih sangat rendah.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan, pertumbuhan penerimaan Januari–Juni hanya berada pada angka 3,75% dari target yang perlu dikejar tahun ini sebesar 19%. Dengan pertumbuhan penerimaan pajak alamiah yang berada pada angka 8,4%, elastisitas antara pertumbuhan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi alamiah (tax buoyancy) hanya pada angka 0,4.

Kinerja buoyancy tersebut menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya menghasilkan 0,4% penerimaan pajak. Selain tak elastis, angka 0,4 juga lebih rendah dibandingkan dengan semester I/2018 yang mampu menembus angka 1,6.

Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan bahwa gap antara realisasi dan penerimaan pajak yang cukup lebar dalam 6 bulan belakangan merupakan implikasi dari ketidakpastian ekonomi. Harga komoditas yang tak sebagus tahun lalu menjadi salah satu indikator melemahnya aktivitas pemungutan pajak.

“Kemarin kan sudah saya jelaskan alasan-alasannya [soal ekonomi],” tegas Robert, Rabu (17/7/2019).

Robert berharap, tekanan-tekanan yang terjadi pada semester I/2019 tersebut segera berakhir supaya penerimaan pajak bisa kembali bangkit. Apalagi dengan shortfall penerimaan pajak yang lebih lebar dibandingkan dengan tahun lalu, paling tidak sampai akhir tahun target pertumbuhan penerimaan pajak yang harus dikejar berada pada angka 9,2%.

Adapun selain tax buoyancy yang relatif rendah, konsekuensi yang harus dihadapi pemerintah jika penerimaan pajak tak kunjung membaik adalah melesetnya target tax ratio atau rasio pajak 2019. Jika berpijak pada outlook yang disampaikan pemerintah di DPR, rasio pajak (yang memperhitungkan penerimaan perpajakan dan PNBP dari sumber daya alam) akan berada pada angka 11,1% dari produk domestik bruto atau lebih rendah dari target sebesar 12,2%.

Namun demikian, jika hanya menghitung dari penerimaan pajak (plus PPh migas) yang diproyeksikan berada pada angka Rp1.437,1 triliun dan pertumbuhan ekonomi 2019 yang berada pada angka 5,2%, rasio pajak 2019 hanya akan berada pada angka 9,2%.

Sementara itu, apabila memperhitungkan penerimaan pajak dikurangi realisasi PPh migas (target pada angka Rp66,15 triliun), rasio pajak nonmigas hanya akan berada pada angka 8,7% dari PDB.

"Manufacturing mudah-mudahan mengeliat dan lebih bagus dari semester satu. Sehingga PPN juga lebih bagus lagi," tegas Robert.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Achmad Aris
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper