Bisnis.com, JAKARTA – Tren buruk penerimaan pajak berlanjut tahun ini. Pasalnya, selain pertumbuhan penerimaan pajak yang masih jauh dari ekspektasi di mana penerimaan pajak sampai akhir tahun diproyeksikan mencapai 91,1% atau hanya Rp1.437,1 triliun dari target sebesar Rp1.577,5 triliun.
Dengan realisasi penerimaan tersebut, outlook shortfall penerimaan pajak 2019 diperkirakan pada angka Rp140,4 triliun. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan realisasi shortfall penerimaan pajak 2018 yang hanya Rp108,1 triliun.
Rapor merah ini seharusnya tak boleh terjadi pada era sekarang apapun dalihnya. Pasalnya, Ditjen Pajak telah mengantongi basis data pajak yang sangat luas sebagai efek dari implementasi kebijakan pertukaran informasi perpajakan alias automatic exchange of information (AEoI).
Namun, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan berdalih bahwa kinerja penerimaan pajak yang masih rendah itu merefleksikan aktivitas ekonomi yang belum menunjukkan pemulihan. Tantangan makin berat, karena hampir semua momentum yang berpotensi mendorong kinerja ekonomi telah berlalu pada semester I/2019.
“Pajak kan dari ekonomi, mana mungkin ada pajak kalau enggak ada ekonomi,” ungkapnya, Selasa (16/7/2019).
Data Kementerian Keuangan sampai semester I/2019 menunjukkan, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp603,3 triliun atau hanya tumbuh 3,75% dari tahun sebelumnya yang mampu tumbuh pada angka 13,9%. Penurunan kinerja penerimaan pajak tersebut merupakan imbas dari menurunnya penerimaan baik dari sisi jenis maupun penerimaan pajak sektoral.
Baca Juga
Dari sisi jenis pajak, penerimaan pajak yang menunjukkan penurunan paling dalam adalah PPN yang minus 2,6%. Padahal tahun sebelumnya penerimaan PPN mampu tumbuh 13,6%. Merosotnya penerimaan PPN tersebut terjadi karena menurunnya setoran PPN dalam negeri yang tercatat minus 2,9% dan PPN impor yang minus 2,1%.
Di samping itu, PPh badan yang kontribusinya lebih dari 20% ke penerimaan pajak juga menunjukkan adanya pelambatan. Realisasi penerimaan PPh badan pada semester I/2019 mencapai Rp123,9 triliun atau hanya tumbuh 3,4%. Tahun lalu, jenis penerimaan pajak ini mampu tumbuh pada angka 23,8%.
Jika dilihat secara sektoral, dari enam sektor yang menjadi bantalan penerimaan pajak, hanya dua yang tercatat tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara itu, sektor industri pengolahan yang kontribusinya ke penerimaan pajak hampir 30% pertumbuhannya justru amblas atau minus 2,6%.
Hal itu juga terjadi di sektor perdagangan. Dengan kontribusi ke penerimaan di atas 20%, sektor ini hanya mampu tumbuh pada angka 2,5% lebih rendah dari pertumbuhan setoran dari sektor perdagangan tahun lalu yang mencapai 27,6%.
Robert tak memungkiri bahwa kinerja penerimaan yang masih di bawah ekspektasi tersebut tak bisa dilepaskan dari gejolak perekonomian yang selama ini terjadi pada semester I/2019. Hanya saja, realisasi penerimaan pajak pada semester I tersebut tak bisa menjadi rujukan untuk melihat kondisi pada semester II/2019.
Apalagi, menurutnya, tanda-tanda perbaikan ekonomi pada semester selanjutnya mulai terlihat. Artinya, potensi penerimaan pajak yang akan dipungut oleh pemerintah juga lebih besar.
PENEGAKAN HUKUM
Di satu sisi selain berharap pada perbaikan pada sisi ekonomi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyinggung, pemerintah akan melakukan sejumlah upaya untuk mencegah shortfall penerimaan tidak melebar. Dia menegaskan, upaya pemanfaatan data akan terus dilakukan untuk melihat potensi penerimaan dari sektor pajak tersebut.
“Upaya-upaya enforcement tentunya akan kami lakukan,” tegas Sri Mulyani.
Hanya saja upaya yang dilakukan oleh otoritas pajak tersebut akan dilakukan selektif mungkin dengan harapan, setiap langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam mendorong optimalisasi penerimaan negara tidak mengganggu aktivitas ekonomi.
Dalam catatan Bisnis.com, ada tiga jenis data yang bisa dimanfaatkan oleh otoritas pajak. Pertama, data hasil pengampunan pajak atau tax amnesty. Dengan partisipasi wajib pajak (WP) yang masih minim, otoritas pajak sebenarnya bisa menyaring WP yang tak mengikuti pengampunan pajak untuk dijadikan sasaran ekstensifikasi maupun optimalisasi penerimaan.
Kedua, data hasil pelaksanaan pertukaran informasi keuangan secara otomatis. OECD mencatat 90 yurisdiksi yang berpartisipasi dalam inisiatif global sejak 2018 kini telah bertukar informasi sebanyak 47 juta akun keuangan di luar negeri, dengan nilai total sekitar 4,9 triliun euro.
Dalam konteks Indonesia, otoritas pajak mengantongi data sebesar Rp1.300 triliun dari hasil pertukaran informasi tersebut. Informasi yang dihimpun Bisnis.com di lingkungan Kementerian Keuangan, mengonfirmasi bahwa data tersebut, meski secara resmi tak pernah dipublikasikan, mulai didistribusikan untuk menguji kepatuhan wajib pajak.
Ketiga, optimalisasi data dari pihak ketiga yang telah teridentifikasi. Seperti dikutip dari Laporan Kinerja (Lakin) Ditjen Pajak 2018, sepanjang tahun lalu otoritas pajak telah memiliki 274,4 juta data prioritas yang telah teridentifikasi.
Jumlah data prioritas yang teridentifikasi tersebut melesat dibandingkan dengan 2017, yang hanya 156,2 juta atau naik sebanyak 75,4%. Identifikasi data tersebut juga lebih banyak dibandingkan dengan 2016 yang hanya 94,7 juta.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menjelaskan dengan prospek penerimaan yang belum sepenuhnya optimal, langkah cepat memang diperlukan oleh pemerintah. Apalagi, jika dilihat secara momentum, hampir semua momentum ekonomi yang bisa menopang penerimaan pajak telah terjadi pada semester I/2019.
“Pemilu, Lebaran semuanya terjadi pada semester I. Kalau melihat momentum dan tren kok saya melihatnya berat ya,” ungkap Prastowo.
Dengan melihat tantangan yang semakin besar, Prastowo berpendapat jika tidak ada langkah yang serius dari pemerintah, shortfall bakal terus melebar dan penerimaan pajak bisa meleset dari outlook. “Pemanfaatan data, perlu strategi konkret, kalau tidak seperti yang kami sampaikan [shortfall bisa melebar],” jelasnya.
Adapun Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menambahkan secara umum, kebijakan yang harus dilakukan adalah dengan ditekankan pada perlunya menggenjot daya saing dan relaksasi terutama dalam rangka sisi investasi maupun perdagangan.
Untuk pajak, perluasan basis pajak (misal meningkatkan jumlah WP, memperkuat ketentuan anti-penggerusan basis pajak) dan memperkuat administrasi pemungutan pajak (melalui digitalisasi pengolahan basis data, kerja sama pertukaran informasi hingga penegakan hukum) adalah keharusan agar mengurangi shortfall.
Pada akhirnya, semua usaha bergantung pada kegigihan aparat pajak dalam memanfaatkan basis data yang ada untuk memperbaiki rapor merah kinerja penerimaan pajak. Jangan menyerah atau hanya menjadikan faktor perlambatan ekonomi sebagai alibi, karena masih ada waktu 6 bulan lagi.