Bisnis.com, JAKARTA -- Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan penting untuk segera dirampungkan karena akan memberikan kepastian hukum mengenai pengembangan sumber energi tersebut di Indonesia.
Ketua METI Surya Darma mengatakan salah satu klausul mandatori yang dibahas dalam RUU EBT adalah mewajibkan PT PLN (Persero) untuk membeli listrik pembangkit EBT. Klausul mandatori tersebut akan memudahkan pengembangan pembangkit EBT.
Selama ini, pengembang harus melakukan negosiasi dengan PLN mengenai pembangkit EBT. "Perlu ada upaya-upaya khusus untuk mendorong EBT, tidak bisa dilepaskan pada kondisi pasar," katanya, Kamis (11/7/2019).
Selain klausul tersebut, dalam RUU juga disebutkan adanya standar portofolio yang mewajibkan setiap pihak yang akan mengembangkan energi harus memiliki porsi pengembangan EBT. Nantinya, pengembang yang memiliki pembangkit EBT akan mendapatkan sertifikat yang bisa diperjualbelikan.
Dalam RUU juga dibahas tiga mekanisme penentuan harga jual beli listrik ke PLN melalui feed in tariff, negosiasi, dan reverse auction atau lelang. Adapun mekanisme feed in tariff mewajibkan PLN untuk membayar suatu listrik dari sumber energi terbarukan sebesar 85 persen di atas biaya pokok penyediaan (BPP) bahan bakar fosil.
Untuk negosiasi, apabila tidak tercapai kesepakatan, maka akan kembali menggunakan mekanisme feed in tariff. Mekanisme ketiga yakni menggunakan harga lelang untuk menjadi nilai dasar.
Baca Juga
RUU tersebut juga akan mengatur pendanaan pembangkit EBT yang dapat bersumber dari green fund maupun pungutan ekspor, pajak karbon, maupun dana-dana dari luar lainnya. Pendanaan tersebut akan diatur oleh badan pengelola EBT.
"Saya kira beberapa poin dalam draft RUU sudah mencakup aspirasi kami. Sebagian besar sudah terakomodir," ujarnya.