Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diminta supaya memperjelas aturan kepemilikan properti oleh warga negara asing di Indonesia. Pasalnya, meskipun dampaknya tidak besar, hal itu cukup untuk ikut membantu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sejak awal diterbitkan, peraturan pembelian properti oleh warga negara asing (WNA) belum memberi kejelasan terkait dengan kriteria izin tinggal bagi WNA dan kriteria objek propertinya.
Pengacara di Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Yogi Sudrajat Marsoni mengatakan bahwa dalam peraturan kepemilikan properti asing di Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 disebutkan bahwa orang asing boleh membeli properti yang memiliki izin tinggal.
“Hal ini menimbulkan tafsirnya semua orang asing yang punya izin tinggal. Nah, izin tinggal apa? Di peraturan imigrasi izin tinggal ada lima macam, diplomatik, dinas, kunjungan, terbatas, dan tetap,” ujarnya, Rabu (10/7).
Adapun, izin tinggal untuk yang memiliki kartu izin tinggal terbatas (kitas) ada izin tinggal kunjungan berjangka panjang atau kunjungan biasa sebagai turis. Jadi, kata Yogi, di dalam peraturan imigrasi setidaknya orang yang mempunyai izin tinggal turis, itu sudah bisa dikatakan punya izin tinggal.
Namun, ini bukan tanpa hambatan, dalam PP yang sama, aturan izin tinggal itu dibatasi lagi dengan definisi orang asing dalam PP 103/2015 disebutkan bahwa orang asing yang dimaksud adalah bukan WNI, harus mempunyai manfaat dan usaha di Indonesia.
Baca Juga
“Jadi, harus kitas lagi ujung-ujungnya. Ini yang kurang jelas,” ungkapnya.
Kendati kepemilikan asing untuk properti Indonesia itu tidak signifikan, sekecil apapun itu pasti bisa menjadi salah satu faktor pendorong ekonomi. Hal ini yang membuat orang asing juga merasa terbebani ketika ingin memutusakan untuk membeli hunian di Indonesia.
Selain aturan izin tinggal, Sekjen DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan bahwa yang menjadi hambatan lain untuk orang asing dalam memutuskan membeli hunian di Indonesia adalah jangka waktu hak milik yang terbatas sampai 70 tahun atau 80 tahun, tetapi dipecah-pecah.
“Sekarang kan kepemilikan ini memang jangka waktunya dipecah jadi 30-20-30 tahun. Kami maunya untuk bisa lebih kompetitif lagi, sekalian diperpanjang. Orang asing mau masuk sini kan mikir, nanti kalau sudah 30 tahun memperpanjangnya gimana,” ungkapnya.
Harapannya, kata Totok, ke depan dalam pembahasan RUU Pertanahan bisa dibahas lebih lanjut terkait dengan kepemilikan properti oleh asing karena meskipun dampaknya kecil, satu sektor bergerak bisa ikut menggerakkan semuanya.