Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Farmasi (GPFarmasi) menyatakan minimnya investasi di sektor disebabkan oleh rendahnya pengeluaran pemerintah pada industri ini, bukan Permenkes no. 1010/2008.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Dorodjatun Sanusi mengatakan bahwa investasi yang dikucurkan oleh pelaku industri farmasi dalam negeri mencapai Rp7 triliun sejak 2012.
"Salah satu penyebab rendahnya investasi di industri farmasi adalah rendahnya pengeluaran pemerintah pada industri farmasi di dalam negeri, bukan Permenkes no. 1010/2008," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (2/7/2019).
Ada tujuh pelaku industri farmasi yang investasi dalam industri hulu farmasi. Adapun, investasi tersebut dilakukan dengan cara alih teknologi, alih pengetahuan, maupun membuat usaha patungan (joint venture/JV).
Berdasarkan data Institute for Developement of Economics and Finance (Indef), pengeluaran kesehatan nasional terhadap produk domestik bruto pada 2016 sebesar 3,12%, meningkat dibandingkan dengan level pada 2000 yang hanya 1,92%.
Dibandingkan dengan pengeluaran negara-negara tetangga di Asean yang rata-rata 3,6%, angka tersebut lebih kecil. Bahkan pengeluaran Malaysia mencapai 3,8%, adapun Singapura mencapai 4,47%.
Adapun, defisit neraca perdagangan di sektor farmasi terus melebar sejak 2013. Berdasar catatan Indef, defisit neraca dagang pada 2019 telah mencapai US$443 juta. Adapun, pada 2013 defisit neraca dagang masih sekitar US$206 juta.
Dorojatun mengemukakan tujuan dari penerbitan Permenkes no. 1010/2018 justru untuk mendorong investasi ke industri hulu. Selain itu, beleid terebut juga mendorong peningkatan kemampuan dan teknologi melalui kerja sama penelitian dan pengembangan.
Dorojatun menyimpulkan minimnya investasi ke industri hulu farmasi nasional telah berlangsung sejak 1970. Oleh karena itu, peran asing dalam alih teknologi dan kemampuan menjadi penting, alih-alih mencabut beleid yang mengatur produksi obat di dalam negeri.