Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah berencana untuk mempermudah pemanfaatan terak atau slag sebagai produk samping smelter dengan mengevaluasi Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Dalam beleid tersebut, slag sebagai produk samping peleburan logam langsung dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Oleh karena itu, untuk dapat memanfaatkannya, diperlukan izin pengelolaan, penempatan, penimbunan, dan pemanfaatan yang dalam pelaksanaannya memerlukan rangkaian uji karakteristik B3 pada laboratorium yang ketersediannya masih terbatas.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa, slag sudah diperlakukan sebagai material yang berguna. Aplikasinya di antaranya sebagai bahan konstruksi, industri semen, dan tanggul.
"Apabila kita melihat negara yang sudah berkembang, selain dari sisi regulasi yang mendukung, slag dari peleburan logam sudah diaplikasikan dalam berbagai bidang," tuturnya, Senin (17/6/2019).
Dia menilai, sudah saatnya mengevaluasi PP No. 101/2014 agar memberikan ruang atau kemudahan dalam pemanfaatan slag. Salah satu caranya adalah mengeluarkan slag dari daftar limbah B3 sepanjang tidak mengandung bahan berbahaya.
Yunus mengungkapkan saat ini terdapat 17 juta ton slag dari kegiatan pengolahan dan pemurnian yang dilakukan PT Antam Tbk., PT MSP, IMIP Group, Virtue Dragon, dan PT Vale Indonesia Tbk. Adapun pemanfaatannya hanya kurang 10% dari jumlah tersebut.
Baca Juga
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan pemerintah tengah mengatur soal pemanfaatan slag dari seluruh smelter yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian, penghiliran mineral logam tidak hanya sebatas produk utama saja, tetapi juga mencakup produk sampingan.
"Kita akan meeting kembali dengan KLHK, Kementerian Perindustrian, juga BUMN untuk membahas rekomendasinya seperti apa," katanya.