Bisnis.com, JAKARTA - Pertemuan negara anggota G20 di Fukuoka, Jepang pekan lalu menunjukkan kemajuan dalam pembahasan konsep pemajakan ekonomi digital.
Kondisi ini tentu memunculkan harapan di tengah maraknya aksi unilateralisme dan pesimisme terkait kemungkinan tercapainya konsesus dalam pemajakan sektor ekonomi tersebut.
Dalam laporan terbarunya, The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menekankan bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan, intervensi politik dan kompromi dari masing-masing anggota G-20 sangat menentukan. Tanpa kedua aspek tersebut, besar kemungkinan solusi jangka panjang bagi pemajakan ekonomi digital akan sangat sulit dilakukan.
Oleh karena itu, jauh hari sebelum pelaksanaan pertemuan di Jepang, komunitas global telah berulangkali mengadakan pertemuan guna menyamakan persepsi terkait pemajakan sektor ekonomi digital.
Pada 28–29 Mei lalu misalnya, OECD telah menggelar rapat pleno dan menghasilkan sebuah kesepakatan untuk mengeksplorasi lebih lanjut solusi jangka panjang berbasis konsensus pada 2020.
“Kesepakatan ini membuka jalan untuk mengeksplorasi lebih lanjut solusi jangka panjang dan memberikan instruksi terperinci untuk Kerangka Kerja Inklusif OECD/G20 dan grup teknisnya,” kata Sekjen OECD Angel Gurria dalam laporan yang dikutip Bisnis, Selasa (11/6).
Gurria merinci, pertemuan itu tak bisa dipisahkan dari berbagai pembahasan-pembahasan sebelumnya. Seperti diketahui, setelah sempat beberapa kali terjadi persilihan antar yurisdiksi, para pemimpin G20 pada KTT Buenos Aires 30 November-1 Desember 2018, memberikan dukungan politik.
Para pemimpin negara secara tegas menyatakan akan terus bekerja bersama untuk mencari solusi berbasis konsensus guna mengatasi dampak digitalisasi ekonomi pada sistem pajak internasional, dengan pembaruan pada 2019 dan laporan akhir pada 2020.
Sejak saat itu, OECD mencatat pekerjaan telah dipercepat dan pada Januari 2019 OECD/G20 Inclusive Framework Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) menerbitkan Policy Note yang berisi persetujuan untuk memeriksa dan mengembangkan proposal yang lebih konkret. Proposal ini kemudian diartikulasikan pada dua pilar utama yang saling melengkapi.
Pertama, fokus pada alokasi hak perpajakan termasuk masalah nexus dengan tiga proposal berbeda yang akan memodifikasi aturan yang ada berdasarkan konsep partisipasi pengguna atau user participation, pemasaran tidak berwujud (marketing intangibles), dan kehadiran ekonomi yang signifikan (significant economic present).
Gurria menyebut, ketiga proposal tersebut secara praktis mengalokasikan lebih banyak pajak hak atas yurisdiksi pasar atau dengan kata lain menguntungkan negara seperti Indonesia.
Kedua, mengeksplorasi Global Anti-Base Erosion Mechanism. Kegiatan ini bertujuan untuk mengatasi risiko lanjutan dari pengalihan laba kepada entitas perpajakan yang sangat rendah. Sebagaimana diketahui, OECD memperkirakan kerugian pendapatan dari BEPS hingga US$240 miliar, setara dengan 10% dari pendapatan pajak perusahaan global.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut adanya konsensus global sangat baik untuk mengubah secara fundamental sistem perpajakan, menerapkan level playing field yang sama, kombinasi pragmatisme dan mencapai konsensus secara kooperatif, serta menemukan solusi untuk mencapai fair taxation secara global.
“Namun demikian Indonesia tidak bisa menunggu konsensus global karena kebutuhan pendanaan pembangunan,” kata Menkeu.
Apalagi, dengan 260 juta populasi dan 100 juta pengguna internet, realisasi penerimaan perpajakan masih belum tercermin dari besaran pengguna internet dan jumlah penduduk tersebut.
Di sisi lain, era digital seperti saat ini aspek perpajakan tidak hanya berdasarkan physical presence atau kehadiran secara fisik dari para pengusaha yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Kata Menkeu, permasalahan ini juga telah dibahas secara intensif dalam forum G20. “Karena yang pusing menghadapi pajaknya Google, Facebook, Amazon, Netflix, itu tidak hanya kita tapi seluruh negara juga,” tegasnya.
BENTUK USAHA TETAP
Oleh karena itu, saat ini prioritas pemerintah adalah melakukan redefinisi dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau permanent establishment. Dengan kompleksitas struktur ekonomi digital, tantangan lain pemerintah adalah membuat formulasi kebijakan, khususnya perhitungan kuantitatif terkait significant presence.
Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji dalam Indonesia Taxation Quarterly Report Q1/2019 Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities menyebutkan, secara substansial pilar pertama bertujuan untuk mengatur alokasi pemajakan secara lebih adil dengan memperluas hak pemajakan bagi yurisdiksi pasar.
Tiga skema yang disebutkan dalam pilar pertana ini sebenarnya lebih menekankan mengenai cara untuk menentukan indikator-indikator dari kehadiran BUT dalam yurisdiksi pajak.
Apalagi dalam perspektif global, selama ini ada kecenderungan bahwa penetapan BUT ditentukan dalam kehadiran fisik. Padahal untuk kasus ekonomi digital, skema penetapan BUT secara konvensional sudah ketinggalan jaman.
Konsep user participation sendiri menekankan penetapan keberadaan suatu entitas digital di suatu negara didasarkan ada tidaknya atau seberapa besar pengguna dari produk digital di suatu yurisdiksi. Intinya, suatu entitas digital dianggap memiliki kehadiran dan bisa dipajaki, dilihat dari penetrasi konsumen yang berada di negara tersebut.
Sementara itu, marketing intangibles, suatu keberadaan entitas digital akan dilihat berdasarkan faktor pasar dari entitas tersebut. Misalnya terkait dengan merek dan keberadaan pengolahan data dari user tersebut. Sedangkan yang terakhir, sufficient economic presense atau kehadiran entitas digital diukur dari dampak entitas tersebut ke ekonomi di satu yurisdiksi pajak.
Bawono menyebut, pada prinsipnya ketiga bentuk proposal tersebut sangat menguntungkan Indonesia sebagai yurisdiksi pasar. Meski demikian, setiap opsi tersebut memiliki keuntungan dan kesulitan yang berbeda-beda.
“Paling mudah diterapkan di Indonesia user participation. Sebab kalau bicara marketing intangibles ini masih ada kompleksitasnya,” kata Bawono.
Dia menjelaskan, masing-masing proposal ini sebenarnya hanya ingin memperlihatkan pihak mana saja yang mendapatkan ‘kue’ lebih besar, meskipun cukup sulit direalisasikan. Apalagi sejauh ini konsensus ke arah pengimplementasian ketiga proposal tersebut masih cukup susah.
Di Indonesia sendiri, upaya mengenai pemajakan ekonomi digital tersebut sudah mulai dijalankan oleh pemerintah misalnya dengan menerbitkan PMK 210/2018 tentang e-commerce yang akhirnya dicabut. Selain itu, tahun ini pemerintah juga telah menerbitkan PMK No.35 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap.
“Nah kalau nanti kita akan membicarakan user participation, ini tampaknya akan ditentang oleh negara-negara domisilinya raksasa-raksasa teknologi,” ungkapnya.