Bisnis.com, JAKARTA - Masalah tata ruang menghambat kemajuan proyek Inland Waterways atau Cikarang-Bekasi-Laut (CBL). Proyek alternatif transportasi logistik melalui kanal sungai ini menjadi salah satu proyek strategis nasional yang gagal konstruksi tahun ini.
Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo mengatakan, perbedaan pendapat tentang tata ruang calon lokasi CBL menjadi isu utama yang mengganjal proyek dengan estimasi investasi Rp3,4 triliun itu.
Pemkab Bekasi menyatakan, lahan seluas 35.244 hektare di sekitar calon lokasi terminal CBL merupakan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi No 12/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031.
Lokasi yang dimaksud saat ini masih berupa sawah, tetapi menurut tata ruang Provinsi Jawa Barat, lahan itu bukan LP2B. Karena perbedaan itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang belum dapat mengeluarkan rekomendasi teknis.
"Ini yang akan teman-teman BPTJ [Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek] sebagai PJTK [penanggung jawab proyek kerja sama] duduk kembali dengan KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan], Kementerian Pertanian, termasuk dengan pemda, untuk memastikan di situ seperti apa," kata Wahyu, Senin (27/5/2019) malam.
Jika masalah tata ruang bisa diselesaikan, Kementerian ATR dapat menerbitkan rekomendasi teknis yang selanjutnya bisa diikuti dengan penetapan lokasi (penlok) oleh Gubernur Jawa Barat.
Berdasarkan data KPPIP, CBL merupakan salah satu PSN yang proses perencanaan dan penyiapannya terkatung-katung karena belum ada kejelasan rencana aksi, komitmen, dan kemampuan penanggung jawab proyek.
Padahal, CBL diharapkan menjadi kanal alternatif angkutan multimoda untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di jalur darat dari daerah asal barang (hinterland), seperti kawasan industri di Cikarang dan Karawang, menuju Pelabuhan Tanjung Priok atau sebaliknya.
Secara keseluruhan, kanal CBL dirancang bisa menampung arus peti kemas hingga 3 juta TEUs per tahun.
Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Cris Kuntadi mengatakan, terminal CBL sebenarnya hanya membutuhkan lahan seluas 52 ha.
Namun, Kementerian Pertanian khawatir kemunculan alternatif jalur logistik itu akan menimbulkan efek berganda (multiplier effect) berupa pertumbuhan kawasan industri di sekitar terminal yang dapat menggerus lahan pertanian.
"Solusi kekhawatiran tersebut adalah menyiapkan lahan pengganti seluas lahan yang digunakan oleh terminal dan pengembangannya," ujar Cris.