Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi akhirnya merevisi tarif batas atas (TBA) tiket pesawat sebesar 12 persen -16 persen untuk menurunkan harga tiket pesawat, yang sejak akhir 2018 membumbung tinggi.
Namun, penurunan TBA itu tidak serta-merta menurunkan harga tiket pesawat, sehingga masih memberatkan bagi konsumen. Pasalnya, kenaikan harga tiket pesawat selama ini sudah mencapai pada kisaran 60 persen-70 persen, sedangkan penurunan TBA hanya sekitar 12 persen-16 persen.
Kendati ada penuruan TBA, perusahaan penerbangan masih bisa menetapkan harga tiket sebesar 100 persen TBA, tanpa melanggar aturan ditetapkan.
Awalnya, perusahaan penerbangan menyalahkan mahalnya harga avtur, yang menjadi pemicu kenaikan harga tiket pesawat. Bahkan harga Avtur di dalam negeri dinilai lebih mahal ketimbang harga Avtur di luar negeri. Akibatnya, harga tiket pesawat asing dari Indonesia ke luar negeri menjadi lebih murah ketimbang harga tiket pesawat domestik ke luar negeri.
Dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara, harga Avtur di Indonesia sebenarnya tergolong kompetitif, bahkan tercatat paling murah ketiga setelah Singapura dan Malaysia.
Dibanding harga jual Avtur di Changi Singapura, harga Avtur di Cengkareng memang lebih mahal sekitar 5 persen-10 persen. Namun, selisih harga Avtur tersebut lebih disebabkan oleh pengenaan Pajak Penjualan (PPn) Avtur sebesar 10 persen, sedangkan harga Avtur di Changi tidak dikenakan PPn. Kalau tidak dikenakan PPn, harga Avtur di Singapura dan Indonesia mestinya setara.
Selain itu, sejak November 2018 hingga pertengahan Februari 2019, harga Avtur di Indonesia justru cenderung turun, yang penurunannya mencapai sebesar 18,5 persen.
Berdasarkan data laman Pertamina Aviation, pada awal Mei 2019 harga Avtur di Cengkareng kembali diturun menjadi Rp9.243 per liter, merupakan harga avtur terendah dibanding harga Avtur di Asia Tenggara. Bandingkan dengan harga Avtur di Manila mencapai Rp.13.260 per liter, di Changi Singapura mencapai Rp. 11.791 per liter, dan di Kuala Lumpur mencapai Rp10.599 per liter.
Selain itu, proporsi biaya Avtur dalam struktur biaya maskapai penerbangan sesungguhnya bukan yang paling dominan. Berdasarkan data Direktoriat Jenderal Perhubungan Udara Kementeriaan Perhubungan 2019, biaya pesawat, terdiri: biaya sewa dan asuransi pesawat, gaji kru dan teknisi sebesar 43 persen, biaya nonpesawat terdiri dari : biaya pemeliharaan, jasa bandara, ground handling, biaya katering, biaya umum dan organisasi, biaya pemasaran, dan margin sebesar 33 persen, sedangkan biaya Avtur hanya sebesar 24 persen.
Proporsi biaya Avtur sebesar 24 persen memang cukup signifikan dalam pembentukan harga jual tiket. Namun, saat terjadi penurunan harga Avtur hingga mencapai 18,5 persen, harga tiket pesawat tidak mengalami penurunan, tetapi justru mengalami kenaikan, bahkan kenaikan harga tiket itu terjadi saat low season pada awal Januari hingga pertengahan Februari 2019.
Oleh karena itu, tuduhan bahwa mahalnya harga Avtur di balik mahalnya harga tiket pesawat, tak lebih hanya sebagai kambing hitam. Demikian juga dengan beban PPN sebesar 10 persen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan harga tiket.
Lalu, variabel apa yang menyebabkan harga tiket masih mahal, meskipun harga Avtur dan TBA sudah diturunkan?
Ada beberapa variabel yang berpotensi menyebabkan mahalnya harga tiket pesawat. Pertama, adanya aksi koporasi maskapai Garuda Indonesia yang menghilangkan harga tiket promo dari kelas ekonomi V, T, Q, untuk memaksimalkan penjualan tiket kelas ekonomi Y, yang dipatok lebih mahal.
Kedua, adanya kebijakan bagasi berbayar yang diterapkan oleh maskapai Lion Air dan Citilink, sehingga menyebabkan harga tiket pesawat yang dibayar konsumen menjadi lebih mahal.
Selain kedua varibel tersebut, struktur pasar oligopoli yang berpotensi membentuk kartel harga pada industri maskapai penerbangan. Struktur pasar oligopoli itu diawali dengan langkah Garuda Indonesia Group melalui anak perusahaannya, PT Citilink Indonesia, mengambil alih pengelolaan operasional Sriwijaya Air dan NAM Air.
Pengambilalihan itu menyebabkan industri penerbangan di Indonesia hanya dikuasai oleh Garuda Group dan Lion Group, dalam struktur pasar oligopoli.
Penguasaan kedua grup maskapai penerbangan itu berpotensi membentuk kartel dalam penetapan harga jual tiket penerbangan. Maskapai penerbangan Garuda dan Sriwijaya yang sudah merger menaikan tarif tiket pesawat. Dalam waktu bersamaan Lion dan Citilink menerapkan bagasi berbayar. Tidak bisa dihindari, harga tiket pesawat menjadi lebih mahal, akibat aksi korporasi dari kedua grup maskapai penerbangan tersebut.
Upaya mengatasi mahalnya harga tiket pesawat tidak bisa hanya dilakukan dengan menurunkan TBA, harga Avtur dan PPN, tetapi perlu juga diaudit besaran margin perusahaan penerbangan yang dibebankan pada harga tiket.
Biar pun semua komponen biaya operasional sudah diturunkan, tetapi perusahan penerbangan mematok margin tinggi, tetap saja harga tiket menjadi mahal. Selain itu, Pemerintah perlu juga melakukan kontrol terhadap aksi korporasi dilakukan oleh perusahaan maskapai, terkait penghapusan harga tiket promo dan bagasi berbayar, yang memicu harga tiket masih mahal.
Sedangkan untuk mengevaluasi struktur pasar industri penerbangan, Komisi Pengasan Persaingan usaha (KPPU) perlu turun tangan untuk memastikan bahwa tidak ada kartel pembentukan harga dari kedua grup maskapai: Garuda dan Lion. Tanpa upaya dari Pemerintah dan KPPU, jangan harap harga tiket pesawat, yang memberatkan konsumen, dapat diturunkan dalam waktu dekat ini, lebih-lebih pada saat menjelang Lebaran.
Penulis adalah pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada