Bisnis.com, JAKARTA -- Proses perjalanan reformasi pajak di Indonesia dinilai masih tertinggal dibandingkan dengan perubahan serupa yang dilakukan di negara lain.
Pengamat pajak DDTC Bawono Kristiaji mengatakan dari aspek regulasi setingkat undang-undang misalnya, meski ada yang sudah mulai dibahas di DPR, belum ada satupun revisi regulasi yang diselesaikan.
"Di Filipina, sejak 2017 sampai sekarang, mereka telah menyelesaikan tiga undang-undang terkait reformasi pajak," ujarnya di Jakarta, Jumat (3/5/2019).
Padahal, dalam praktiknya, substansi perubahan yang dilakukan oleh Filipina dan Indonesia sebenarnya tak banyak yang berbeda. Salah satu contohnya, soal penurunan pajak penghasilan (PPh) badan.
Negara yang dipimpin Rodrigo Duterte itu disebut lebih maju karena penurunan PPh sudah dilakukan secara bertahap. Sementara itu, di Indonesia, penurunan PPh masih sebatas wacana.
Bawono menduga kendala stagnasi reformasi pajak, khususnya yang terkait dengan regulasi, terjadi karena adanya pertimbangan stabilitas politik.
"Jadi kemarin yang difokuskan pemerintah lebih banyak di administrasinya," ucapnya.
Di sisi lain, harus dipahami bahwa tren reformasi pajak di berbagai negara dalam 5 tahun terakhir dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pengumpulan penerimaan. Kedua, mendorong daya saing di tengah ketidakpastian ekonomi.
Baca Juga
Ketiga, perlindungan basis pajak dan era transparansi. Keempat, perlindungan hak wajib pajak dan kepastian.
Kelima, peningkatan kepatuhan melalui simplifikasi. Keenam, paradigma baru untuk menjamin kepatuhan. Terakhir, ekonomi digital.