Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyarankan kebijakan holding BUMN di bidang aviasi dipikirkan matang-matang karena bisa memengaruhi iklim persaingan usaha yang sehat.
Juru Bicara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntut Saragih mengatakan bahwa kebijakan pengelolaan operator bandar udara sangat memengaruhi bisnis penerbangan, khususnya daya saing maskapai.
“Berbagai kebijakan seperti jadwal, lokasi parkir pesawat dan semacamnya sangat sensitif dan berimbas pada operator penerbangan. Karena itu, pengelola bandar udara dan operator penerbangan harusnya dipisah karena jika digabung, akan menimbulkan potensi untuk mengganggu persaingan usaha yang sehat,” ujarnya, Rabu (1/5/2019).
Menurutnya, wacana penggabungan BUMN pengelola bandar udara seperti PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero), serta operator penerbangan seperti PT Garuda Indonesia (Persero)Tbk ke dalam sebuah holding BUMN di sektor aviasi sebaiknya tidak perlu dilanjutkan. Pasalnya, penggabungan tersebut bisa mengganggu iklim persaingan usaha yang sehat antarmaskapai penerbangan.
Potensi yang mengganggu persaingan usaha yang sehat tersebut menurutnya dapat terwujud dalam perlakuan yang tidak setara terhadap pelaku bisnis di bandar udara, termasuk maskapai penerbangan. Pengelola bandar udara semisal grup PT Angkasa Pura I (Persero), tepatnya AP Logistik pernah dihukum oleh KPPU karena memonopoli layanan.
Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung (MA) menilai AP I diberi hak monopoli untuk mengelola bandara dan kegiatan penunjang lainnya dan semestinya BUMN itu mengelola fungsi terminal kargo, tetapi ternyata hak tersebut dilimpahkan kewenangan pengelolaannya kepada PT Angkasa Pura Logistik.
Selain itu, majelis juga menemukan bahwa selain sebagai pengelola terminal kargo PT Angkasa Pura Logistik juga berperan sebagai regulated agent (RA) satu-satunya yang beroperasi di Bandara Sultan Hasanuddin, serta juga melakukan bisnis ekspedisi muatan pesawat udara (EMPU). Dengan demikian, majelis menilai unsur penguasaan atas produk atau pemasaran barang dan jasa telah terbukti.
Sementara itu, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman mengatakan bahwa bisnis bandar udara memiliki karakteristik tersendiri sehingga wajar mendapatkan hak monopoli oleh negara. Karena itu, menurutnya, wajar saja jika AP I dan AP II digabungkan ke dalam satu holding.
Akan tetapi, lanjutnya, BUMN yang berperan sebagai operator penerbangan seperti Garuda Indonesia memiliki pola bisnis yang berbeda, tidak monopolistis serta ada pihak swasta pula yang turut berkompetisi. Karena itu, menurutnya, operator bandara serta operator penerbangan tidak baik untuk ditempatkan ke dalam satu holding.
“Jangan sampai BUMN penerbangan dapat fasilitas karena di bawah holding yang sama dengan BUMN pengelola bandara. Kalau ini terjadi maka bukan kompetisi yang sehat. Jadi harus hati-hati dan pastikan holding ini sebenarnya buat apa,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) mengklaim pembentukan holding BUMN sarana dan prasarana penerbangan akan memperkuat industri aviasi Indonesia hingga di kancah global serta mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
Direktur Utama Angkasa Pura I (AP I) Faik Fahmi menjelaskan bahwa pembentukan holding bertujuan memperkuat industri aviasi di Indonesia. Pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang sarana dan prasarana penerbangan ditargetkan terbentuk dalam dua bulan ke depan.
Rencana saat ini kelompok usaha itu akan melibatkan Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., dan PT Pelita Air Services, dan PT Survai Udara Penas (Persero) sebagai induk.