Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta lebih berhati-hati dalam menentukan besaran biaya jasa ojek online (ojol), sebab biaya yang terlalu tinggi dapat membuat konsumen meninggalkan jasa transportasi berbasis aplikasi tersebut.
Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) mengeluarkan penelitan terbaru terkait kenaikan tarif ojek online pada Senin (11/2/2019).
Hasilnya, rencana adanya kenaikan biaya Ojol diprediksi akan lebih banyak berdampak negatif.
Ketua Tim Peneliti RISED Rumayya Batubara, Ph.D mengatakan, konsumen sangat sensitif terhadap segala kemungkinan peningkatan tarif. Hal itu pun terlihat dalam hasil survei.
Dia mengambil angka ekstrem kenaikan tarif menjadi Rp3.100/kilometer (km) sebagai salah satu indikator penelitiannya. Asumsinya, biaya jasa transportasi online berkisar Rp2.200/km.
"Kita coba melakukan simulasi berangkatnya diskusi publik, Rp3.100/Km versi kemenhub itu kisaran Rp2.000. Studi ini mencoba menguji angka ini kita pakai angka yang ekstrem, kita lihat histori provider, kita ambil angka Rp2.200/km dari provider yang pernah diterapkan," terangnya, Senin (11/2/2019).
Hasil survei menyebutkan 45,83% responden menyatakan tarif Ojol yang ada saat ini sudah sesuai, dengan 28% responden lainnya mengaku bahwa tarif ojol saat ini sudah mahal dan sangat mahal.
Sementara itu, apabila ada kenaikan, sebanyak 48,13% responden hanya mau mengeluarkan biaya tambahan kurang dari Rp 5.000/hari. Ada juga sebanyak 23% responden yang tidak ingin mengeluarkan biaya tambahan sama sekali.
Dari hasil survei yang dilakukan RISED diketahui bahwa jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 8,8 km/hari. Dengan jarak tempuh sejauh itu, apabila terjadi kenaikan tarif dari Rp 2.200/km menjadi Rp 3.100/km (atau sebesar Rp 900/km), maka pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 7.920/hari.
“Bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak oleh kelompok konsumen yang tidak mau mengeluarkan biaya tambahan sama sekali, dan yang hanya ingin mengeluarkan biaya tambahan kurang dari Rp 5.000/hari. Total persentasenya mencapai 71,12%,” ujar Rumayya.
Konsumen Turun
Menurut Rumayya, permintaan konsumen akan turun drastis sehingga berpotensi menurunkan pendapatan pengemudi ojol dan meningkatkan frekuensi masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dalam beraktivitas sehari-hari sehingga dapat menambah kemacetan.
Survei tersebut melibatkan sebanyak 2.001 responden konsumen pengguna Ojol dari 10 provinsi dengan mayoritas konsumen berasal dari wilayah Jabodetabek sebagai daerah urban. Survei ini dilakukan menjawab dampak dari berbagai kemungkinan kebijakan terkait ojol dan respon konsumen terhadapnya.
Mantan Ketua YLKI & Mantan Komisioner Komnas HAM Zumrotin K. Susilo menuturkan tarif ideal untuk kesejahteraan pengemudi, provider dan yang dapat diterima oleh konsumen itu setidaknya kenaikan sebesar 20%.
Berdasarkan kesimpulannya, tarif ideal dari Rp2.200/km yang masih dapat diterima semua pihak berkisar Rp2.400/km--Rp2.640/km.
"Ini solusi yang sama-sama menang, konsumen tidak terlalu diberatkan, seandainya kenaikannya 20%, masih bisa menerima. Selain itu, saya ingin provider itu bisa menanggung asuransinya, begitu, karena Ojol ini begitu besar dampaknya terhadap perekonomian," jelasnya.
Zumrotin menjelaskan, tarif memang selalu menjadi pertimbangan penting konsumen dalam menggunakan layanan atau produk. Itu terlihat dari hasil survei yang dilakukan RISED bahwa 64% responden mengaku menggunakan aplikasi dari dua perusahaan aplikasi ojek online.
Oleh karena itu, menurutnya kebijakan yang mempengaruhi harga sebaiknya dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengganggu stabilitas pasar secara menyeluruh.
“Seluruh pemangku kepentingan harus diperhitungkan dalam proses perumusan regulasi, karena konsumen yang akan terdampak secara signifikan.” ujarnya.
Apalagi saat ini konsumen telah merasakan nyamannya menggunakan layanan ojol, seperti tergambar dari hasil survei bahwa 75% responden lebih nyaman menggunakan ojol dibandingkan moda transportasi lainnya. Sebesar 83% responden juga menyatakan bahwa ojol lebih unggul dikarenakan faktor kemudahan dalam bermobilitas, waktu yang fleksibel, dan layanan dari pintu ke pintu.
Jarak Tempuh
Berdasarkan hasil survei juga terlihat bahwa masyarakat menggunakan ojol dominan untuk pergi ke sekolah, kuliah, dan kantor sebesar 72% responden. Sementara dari sisi jarak tempuh, 79,21% responden menggunakan ojek online untuk bertransportasi sejauh 0-10 km per hari.
Fakta penelitian tersebut, ojol mendukung konsumen terhubung dengan transportasi publik massal yang terus berkembang, disebut berkisar 40% responden menggunakan ojol untuk pergi ke stasiun dan halte atau terminal.
Selain itu, survei ini menemukan terdapat 8,85% responden tidak pernah kembali menggunakan kendaraan pribadi setelah adanya transportasi ojol. Sementara itu, 72,52% responden masih menggunakan kendaraan pribadi, dengan frekuensi lebih sedikit 1-10 kali/minggu dari sebelumnya yang 11-20 kali/minggu.
“Jika tarif ojol naik drastis, ada kemungkinan konsumen akan kembali beralih ke kendaraan pribadi, sehingga frekuensi penggunaan kendaraan pribadi dijalanan akan semakin tinggi,” kata Rumayya.
VP Corporate Affairs Gojek, Michael Reza Say, belum ingin berkomentar banyak terkait penentuan tarif ojol tersebut.
"Saya belum bisa komentar banyak karena kami sendiri masih menunggu hasil akhir dari Rancangan Peraturan Menteri [RPM], yang jelas harapan kami RPM ini bisa komprehensif, tidak hanya mempertimbangkan salah satu aspek saja, tapi balance diantara kesejahteraan mitra, kepentingan konsumen serta keberlangsungan industri ini sendiri," jelasnya kepada Bisnis.
Terkait penentuan biaya jasa ojol ini, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih menggodog beleid yang mengaturnya. Selain tarif, beleid yang diberi judul perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat ini, turut mengatur mengenai suspend, keselamatan/keamanan serta perlindungan masyarakat.
Berdasarkan beleid yang Bisnis terima, formula perhitungan biaya jasa sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat terdiri atas biaya langsung dan tidak langsung.
Biaya langsung terdiri atas biaya penyusutan kendaraan, profit mitra, bunga modal, pengemudi, asuransi, pajak kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, ban, pemeliharaan dan perbaikan, penyusutan handphone, dan pulsa atau kuota internet.
Sementara itu, biaya tidak langsung berupa jasa penyewaan aplikasi. Formula perhitungan biaya jasa tersebut digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan biaya jasa paling tinggi dan paling rendah.