Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah masih menghadapi adanya defisit perumahan yang di Jakarta diperkirakan mencapai 300.000 unit hunian. Jakarta Property Institute (JPI) menawarkan skema pembangunan dan finansial inovatif yang tak hanya membantu pemenuhan hunian terjangkau tetapi juga penataan perkampungan.
Direktur Eksekutif JPI Wendy Haryanto mengatakan bahwa skema ini tidak menggusur, tapi menata warga dengan menggesernya ke unit vertikal di area sama.
“Skema ini merupakan solusi penataan kawasan yang lebih ramah dan tidak merugikan. Dengan demikian, tidak hanya memberikan kehidupan yang lebih layak, kita juga turut menjaga martabatnya sebagai manusia,” ujar Wendy, Minggu (10/2/2019).
Pada skema ini, banyak pihak dapat berperan aktif dalam tahap pendanaan dan pembangunan, terutama sektor swasta. Wendy menyebutkan, ide ini muncul dari kesulitan pengembang dalam mengeksekusi kewajiban fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos/fasum) yang bisa jadi terletak di dekat perkampungan. Kewajiban ini tertera pada Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT).
“Apabila lahan pengembang yang harus diserahkan berada di dekat area perkampungan, maka sangat mungkin lahan tersebut digunakan untuk fasos atau fasum dalam membangun lahan hunian vertikal yang pertama. Tentu biaya ditanggung pengembang untuk memenuhi kewajiban SIPPT tadi. Selanjutnya, warga sekitar bisa pindah ke sana dan lahan sebelumnya dibangun hunian baru,” ujarnya.
Untuk mensukseskan skema ini, kata Wendy, pemerintah bisa merangkul sektor swasta. Pemerintah memegang peran penting dalam proses relokasi warga, pendataan tiap-tiap keluarga, dan juga sosialisasi.
Baca Juga
“Terutama sosialisasi bahwa mereka tidak kehilangan asetnya, karena unit yang mereka tinggali berstatus hak milik,” katanya.
Wendy juga menambahkan bahwa kawasan akan dilengkapi fasilitas umum dan sosial yang lengkap seperti kesehatan, pendidikan, rumah ibadah, dan ruang terbuka hijau. Terlebih lagi, dengan tidak adanya perpindahan lokasi, mata pencaharian mereka tidak akan hilang, justru dapat berkembang. Dengan demikian, warga dapat tetap bekerja dan berdagang seperti biasa.
Di Jakarta, penataan permukiman kumuh sering kali terkendala resistensi warga setempat yang menolak digusur. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah rumah kumuh di Jakarta mencapai 181.256 unit, dengan kategori kumuh berat sebanyak 21.720 unit yang tersebar di 279 RW kumuh.
Adapun, terdapat tujuh permasalahan utama pada permukiman kumuh di Jakarta. Permasalahan tersebut adalah kondisi bangunan yang tidak sesuai persyaratan teknis, aksesibilitas jalan lingkungan yang tidak memadai, jaringan drainase dengan kualitas buruk, tidak terpenuhinya layanan air minum, pembuangan air limbah yang bercampur drainase lingkungan, pengelolaan sampah yang buruk, serta tidak adanya sarana proteksi kebakaran.
Banyaknya permasalahan tersebut tentunya mempengaruhi kualitas hidup warga yang bertempat tinggal di permukiman kumuh. Wajah kota pun ikut tercemar dengan adanya kawasan kumuh dibalik megahnya gedung-gedung tinggi.(